Saturday, July 26, 2025

Mengarungi Hidup dengan Bipolar dan Cinta Abadi_Novel

 

 

 

 


 

Mengarungi Hidup dengan Bipolar dan Cinta

 

Abadi

 

Oleh: Suyono

 

  

Prolog: Gema di Ruang  Kelas

 

 

Pagi itu, udara di dalam kelas  XI-8 terasa begitu tebal dan  hangat, seolah bisa  dikunyah. Dengung monoton dari tiga bilah kipas angin  di langit-langit menjadi musik latar yang  membosankan bagi pelajaran biologi. Di depan papan tulis putih,  di antara gambar siklus Krebs yang  menyerupai peta harta karun  biokimia, aku berdiri.  Namaku  Soleh. Dan di sinilah panggungku.

 

"Jadi, coba bayangkan sejenak," aku memulai, suaraku sengaja kubuat tenang, mencoba menarik benang-benang perhatian yang  mulai kusut  dari tiga puluh  pasang mata di hadapanku.

"Bayangkan tubuh kita ini seperti sebuah rumah pintar yang  canggih. Rumah yang  punya termostat, pengatur kelembapan, dan  sistem keamanan sendiri."

 

Beberapa siswa  di barisan depan menegakkan punggung, tertarik dengan analogi itu. "Rumah ini," lanjutku  sambil  mengetuk-ngetuk papan tulis dengan spidol,  "harus selalu  menjaga suhunya di angka 25 derajat Celcius, tidak peduli di luar sana sedang ada badai salju atau gelombang panas yang  memanggang aspal. Itulah, dalam esensinya, homeostasis. Sebuah keajaiban tak henti  dari tubuh kita untuk mempertahankan keseimbangan lingkungan internalnyasuhu, tekanan darah, kadar gulaagar setiap sistem, setiap organ, setiap sel, bisa berfungsi dalam harmoni sempurna."

 

Sebagian besar siswa  mengangguk paham. Namun,  di barisan ketiga, di dekat jendela yang terbuka, seorang siswi bernama Rina mengangkat tangan. Bukan gerakan ragu-ragu, melainkan sebuah sentakan penuh keyakinan. Matanya yang jernih, yang  selalu  tampak menganalisis, memancarkan rasa ingin tahu yang  murni. Sebuah percikan api yang  kuharap biskutemukan di setiap murid.

 

"Pak Soleh,"  tanyanya, suaranya jernih dan membelah udara kelas  yang  hangat. "Kalau homeostasis itu menjaga keseimbangan kimia di tubuh secara umum, lalu... apa yang  terjadi kalau keseimbangan kimia di otak  yang  terganggu, Pak? Maksud  saya, neurotransmiter dan  semacamnya. Apakah  tubuh juga bisa  memperbaikinya secara otomatis seperti mengatur suhu?"

 

Pertanyaan itu. Begitu  tajam, begitu polos, dan begitu menusuk. Dalam sekejap, dunia  di sekelilingku membeku.


Dengung kipas angin  lenyap. Suara tawa dari koridor  sekolah mendadak hening, teredam oleh sesuatu yang  tak terlihat. Untuk satu detik yang terasa abadi, aku bukan lagi Soleh,  guru  biologi yang  berwibawa. Aku terlempar kembali ke sebuah pusaran waktu,  ke sebuah badai yang  telah mengukir ulang  seluruh peta geografis hidupku.

 

Pandanganku tanpa sadar beralih ke jendela, melewati Rina, menatap lapangan sekolah yang bermandikan cahaya matahari pagi.  Di sana, di balik citra  seorang pendidik yang  stabil dan berdedikasi, ada sebuah dunia  lain. Dunia yang dipenuhi puncak-puncak mania  yang  menjulang angkuh dan  jurang-jurang depresi yang  gelap tak berdasar. Pertanyaan Rina bukanlah sekadar pertanyaan akademis bagiku.  Itu adalah gema dari seluruh hidupku, sebuah bisikan  dari masa lalu yang bertanya, 'Ingat aku?'

 

Bagaimana jika keseimbangan itu runtuh? Akutahu persis jawabannya, bukan dari buku teks, melainkan dari memar-memar di jiwa. Karena aku telah menghabiskan lebih dari separuh hidupku untuk  menjawabnyadengan perjuangan sunyi, air mata yang  tak terhitung, dan  sebuah cinta yang  melampaui logika.

 

Aku menarik napas dalam-dalam, membawa diriku kembali  ke ruang kelas  yang  hangat. Aku menatap Rina, dan  untuk  pertama kalinya, aku memberinya senyum yang  tidak hanya datang dari seorang guru, tetapi dari seorang penyintas.

 

"Itu pertanyaan yang  sangat bagus, Rina," kataku, suaraku sedikit lebih lirih dari sebelumnya. "Dan jawabannya... rumit. Terkadang, tubuh butuh bantuan dari luar untuk  menemukan kembali keseimbangannya. Dan itu adalah sebuah perjalanan tersendiri."

 

Perjalanan yang  kini akan  kuceritakan.


 

Bagian I: Akar dan Badai  Pertama

 

Bab 1: Sang Juara  dari Kaki Ciremai

 

 

Aku dilahirkan pada 14 November 1968, di Kuningan,  sebuah kota  asri yang  tidurnya dijaga oleh siluet agung Gunung Ciremai.  Tumbuh besar di sana berarti hidup  dalam dekapan alam. Udara sejuk pegunungan adalah napas pertamaku, dan bentangan sawah hijau zamrud yang  tak bertepi adalah halaman bermainku. Kuningan,  dengan motonya "Aman, Sehat, Rindang,  Indah", menanamkan rasa damai dan  keteraturan dalam diriku sejak  dini.

 

Dalam keluarga sederhana kami, aku adalah anomali yang  membanggakan. Sejak Sekolah Dasar, namaku seolah terpaku di peringkat pertama. Menjadi "juara  kelas"  bukan sekadar prestasi; itu adalah identitasku, lencanaku. Aku ingat  malam-malam saat teman-temanku bermain kelereng di bawah cahaya bulan,  aku duduk di meja belajar kayu, ditemani lampu  teplok  yang berkedip-kedip, melahap buku-buku pelajaran hingga larut. Aku percaya pada kekuatan dedikasi. Aku meyakini bahwa jika aku belajar lebih giat, berlari lebih kencang, dan  berusaha lebih keras dari yang  lain, pintu  kesuksesan pasti akan terbuka lebar.

  

Dunia di hadapanku tampak seperti sebuah garis lurus yang  menanjak, sebuah persamaan matematika dengan hasil yang  sudah pasti. Setiap ujian yang  kulalui dengan nilai sempurna, setiap piala cerdas cermat yang  kubawa pulang, adalah penegasan bahwa aku memegang kendali  penuh atas masa depanku. Orang tuaku, dengan segala kesederhanaan mereka, menaruh seluruh harapan mereka di pundakku. Aku adalah mercusuar bagi keluarga, bukti hidup  bahwa kerja keras dapat mengubah nasib.

 

Masa  depanku terbentang cerah dan  jelas: lulus sekolah dengan predikat terbaik, masuk universitas negeri ternama, mendapatkan pekerjaan yang  mapan, dan  mengangkat derajat keluarga. Sebuah narasi yang  sempurna, sebuah rencana yang  tak mungkin  gagal. Saat itu, aku tidak pernah membayangkan bahwa ada kekuatan lain yang  bersemayam di dalam diriku, sebuah kekuatan tak kasat mata yang  mampu membelokkan garis  lurus itu menjadi labirin yang paling  rumit dan  tak terduga. Aku adalah sang juara dari kaki Ciremai, seorang pemuda yang penuh percaya diri, yang  belum  menyadari bahwa badai terbesar dalam hidupnya tidak datang dari langit, melainkan dari dalam kepalanya sendiri.

 

Bab 2: Langit  yang Runtuh

 

 

Tahun  1987, setelah toga kelulusan SMA kutanggalkan dengan bangga, langit dalam duniaku mulai menunjukkan retakan-retakan halus.  Awalnya, retakan itu kecil, nyaris  tak terlihat. Aku merasakannya sebagai gelombang energi yang  luar biasa, sebuah sengatan listrik kosmik yang  menjalar ke seluruh tubuh. Tiba-tiba, tidur terasa seperti sebuah konsep usang, sebuah pemborosan waktu  yang  tidak perlu.  Tiga jam semalam terasa lebih dari cukup, dan  aku akan bangun di tengah malam  buta dengan semangat yang  meluap-luap, seolah bismenaklukkan dunia sebelum fajar menyingsing.

 

Pikiranku berpacu lebih cepat dari kilat, melompat dari satu ide cemerlang ke ide lainnya tanpa jeda. Aku akan  membangunkan ayahku pada pukul dua pagi hanya untuk menjelaskan rencanaku membangun sistem irigasi canggih untuk  seluruh desa, lengkap dengan perhitungan matematis yang rumit. Aku berbicara tanpa henti,  dengan kecepatan yang  membuat teman-temanku bingung dan  keluargaku khawatir.

 

"Leh, kamu tidak tidur lagi?" tanya Ibu suatu subuh, menatapku dengan cemas saat aku sudah sibuk menata ulang  seluruh perabotan rumah.

 

"Tidak perlu,  Bu! Pikiranku sedang menyala! Aku baru saja  menemukan cara untuk  meningkatkan hasil panen kita dua  kali lipat!" jawabku cepat, melompat dari topik pertanian ke filsafat, lalu ke rencana perjalanan keliling dunia.

 

Aku merasa istimewa, berbakat, dan  sangat kuat, seolah ada kekuatan dewa yang  merasukiku. Fase ini, yang  kelak kuketahui sebagai mania,  adalah euforia yang  paling  manis  sekaligus paling menakutkan. Aku membuat rencana-rencana besar yang  tidak realistis, merasa tak terkalahkan, dan  percaya diri secara berlebihan. Namun,  di balik semua energi itu, ada sebuah kegelisahan yang  tak bisa  diam. Sebuah dorongan untuk terus bergerak, yang  pada akhirnya akan  meledak menjadi sebuah pengembaraan yang  tak akan pernah kulupakan.


 

Bab 2.5: Pengembaraan Tanpa  Arah

 

 

Energi di dalam diriku mencapai titik didih. Rasanya seperti ada mesin  uap  yang  bekerja di dalam dadaku, menuntut untuk  dilepaskan. Duduk diam di rumah terasa seperti penyiksaan. Suatu pagi, tanpa pamit,  tanpa tujuan yang  jelas selain mengikuti dorongan tak tertahankan untuk bergerak, aku melangkah keluar dari rumah kami di Kuningan.  Matahari baru saja  mulai menghangatkan bumi, namun di dalam diriku, api sudah berkobar. Aku harus pergi.  Ke mana? Tidak penting. Yang penting adalah bergerak.

 

Aku berjalan kaki. Langkahku cepat dan  mantap, menyusuri jalanan desa, lalu masuk ke jalan raya utama. Pikiranku adalah sebuah simfoni yang hingar bingar. Setiap pemandanganpohon, tiang listrik, awan  di langitseolah membawa pesan rahasia yang  hanya bisa  kumengerti. Aku merasa seperti seorang nabi dalam sebuah misi suci.


Tujuanku mulai terbentuk di dalam benakku yang berpacu: Majalengka. Ya, Majalengka. Ada sesuatu yang  penting menungguku di sana. Aku tidak tahu apa, tapi aku yakin itu adalah takdir.

 

Berjam-jam aku berjalan tanpa lelah. Panas matahari yang  menyengat tak kurasakan. Aku menghentikan orang-orang di jalan, berbicara dengan mereka tentang rencanaku untuk mengubah dunia,  tentang konspirasi-konspirasi besar yang  hanya aku yang  tahu. Sebagian besar menatapku dengan aneh, sebagian lagi mempercepat langkah mereka. Aku tak peduli. Mereka hanya belum  mengerti.

 

Menjelang sore, langkahku membawaku ke Cigasong. Aku melihat sebuah kompleks perumahan yang  rapi dan  teratur, dengan gerbang yang  dijaga. Kompleks  tentara. Sesuatu

di dalam diriku tertarik pada keteraturan itu. Tentu saja! Misi rahasiaku pasti berhubungan dengan militer. Aku harus menyampaikan pesanku kepada seorang perwira tinggi. Dengan keyakinan penuh, aku melenggang masuk melewati gerbang, mengabaikan tatapan heran penjaga.

 

Aku berjalan di antara rumah-rumah yang seragam, mencari pertanda. Akhirnya, aku memilih satu rumah secara acak  dan  mengetuk pintunya dengan keras. "Permisi! Ada pesan penting untuk komandan!" teriakku.

 

Pintu terbuka. Di hadapanku berdiri seorang pria bertubuh tegap dengan kaus  singlet, wajahnya mengeras karena terganggu. Tanpa banyak bicara, ia mengangkat tangannya. Di tangannya, sebuah pistol  hitam  mengkilat ditodongkan lurus ke wajahku.

 

"Pergi,"  desisnya, matanya menyala marah. "Atau kepala kau pecah di sini."

 

Anehnya, aku tidak merasa takut. Yang kurasakan adalah frustrasi. Kenapa dia tidak mengerti? Aku di sini untuk  menyelamatkan mereka! "Bapak  tidak paham! Ini menyangkut keamanan negara!" seruku, suaraku meninggi.

  

Dia tidak menjawab. Laras  pistol  itu bergeming. Beberapa tetangga mulai keluar,  dan  tak lama kemudian, dua  orang tentara lain datang dan menyeretku dengan kasar keluar  dari kompleks. Aku diusir seperti anjing kurap,  teriakan- teriakanku tentang misi pentingku hilang ditelan angin  malam  yang  mulai turun.

 

Kegagalan itu tidak memadamkan apiku. Malam telah tiba, tapi perjalananku belum  selesai. Di pinggir  jalan yang  gelap, aku melihat seorang bapak tua  dengan tergossebuah sepeda kargo roda tiga yang  reyot. Ide cemerlang lain melintas di kepalaku. Aku butuh kendaraan.

 

Aku menghampiri bapak itu dengan sisa-sisa pesonaku yang  kacau. Aku berbicara cepat, tentang takdir,  tentang misi penyelamatan, tentang betapa pentingnya perjalananku. Aku tidak tahu apa yang  kukatakan, tapi entah bagaimana, bapak tua  yang  kebingungan itu akhirnya membiarkanku membawa tergos-nya, mungkin  karena kasihan atau takut.

 

Dengan kendaraan baru, aku melanjutkan perjalanan di tengah kegelapan. Aku mengayuh seperti orang gila, tawa manikku menggema di jalanan yang  sepi.  Di sebuah tikungan gelap, di dekat sebuah warung remang-remang, sekelompok preman sedang berkumpul. Mereka menghentikanku.

 

"Wah, wah, ada pembalap malam,"  kata  salah satu dari mereka, menghadang jalanku.

 

Rasa tak terkalahkanku membuncah. Aku bukan Soleh,  pemuda biasa. Aku adalah seorang ksatria

dalam misi. Aku menantang mereka semua. "Minggir kalian! Jangan halangi jalan takdir!"

 

Mereka tertawa. Tawa itu memicu kemarahanku. Aku melayangkan pukulan pertama. Pertarungan itu singkat dan  brutal. Aku, yang  merasa sekuat dewa, ternyata hanyalah seorang pemuda kurus melawan lima orang pria jalanan. Pukulan  dan tendangan menghujani tubuhku. Rasa sakit yang tajam  menembus kabut manikku. Pandanganku menggelap. Hal terakhir yang  kuingat adalah dinginnya aspal di pipiku.

 

Aku terbangun karena rasa sakit yang  menyebar di seluruh tubuh. Kepalaku berdenyut hebat. Bau pesing dan  anyir menyeruak ke hidungku. Aku membuka mata perlahan. Dinding kotor,  lantai semen yang  dingin, dan  jeruji besi.  Aku berada di dalam sel tahanan polisi. Energi dewaku telah lenyap, digantikan oleh kekosongan yang  dingin, kebingungan, dan  rasa malu yang menghancurkan. Aku babak belur,  pakaianku robek dan  kotor.  Aku hanya bisa  meringkuk di sudut, menangis dalam diam.

 

Keesokan harinya, pintu  sel terbuka. Wajah ayah dan  keluarga muncul,  tampak cemas dan  lelah luar biasa. Mereka telah mencariku semalaman.

Melihat kondisiku,  wajah  mereka berubah dari lega menjadi ngeri.  Perjalanan pulang ke Kuningan adalah perjalanan yang  paling  sunyi dalam hidupku.

 

Di rumah, Ibu memelukku sambil  menangis tanpa henti.  Mereka tahu ada yang  sangat salah denganku. Pengembaraan gilaku menjadi titik balik. Keluarga membawaku bukan ke dukun  atau orang pintar, melainkan ke rumah sakit. Untuk pertama kalinya, aku bertemu dengan seorang dokter jiwa. Setelah pemeriksaan panjang, aku dirawat. Selama satu bulan  penuh, rumah sakit menjadi duniaku. Dinding putih,  obat-obatan yang membuatku mengantuk, dan  sesi  terapi yang canggung. Di sanalah badai pertamaku secara resmi diberi nama. Dan di sanalah perjuangan sejatiku untuk  menemukan kembali  keseimbangan dimulai.

 

Bab 3: Meniti Buih di Kampus Merah

 

 Setelah keluar  dari rumah sakit, dengan diagnosis baru yang  terasa seperti cap  di dahi dan  sisa-sisa trauma dari pengembaraan gilaku, secercah cahaya muncul  pada tahun 1988. Sepucuk surat tipis mengabarkan bahwa aku diterima di IKIP Bandung (kini Universitas Pendidikan Indonesia). Sebuah pencapaian yang  terasa seperti keajaiban, sebuah tali yang  dilemparkan ke dalam jurang tempatku terperosok. Memasuki gerbang kampus dengan jaket almamater yang  kebesaran adalah langkah besar, bukan hanya secara akademis, tetapi juga sebagai sebuah pembuktian kepada diriku sendiri bahwa aku belum  sepenuhnya kalah.


Namun,  kehidupan kampus di era  akhir 1980-an bukanlah sebuah taman yang  tenang. Saat itu, rezim Orde  Baru sedang gencar-gencarnya menerapkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus  (NKK/BKK). Kebijakan  ini, yang  lahir setelah gerakan mahasiswa kritis pada tahun 1978, bertujuan untuk "menjinakkan" kampus dan  membungkam suara- suara vokal mahasiswa. Dewan  Mahasiswa dibekukan, kegiatan politik dilarang keras, dan mahasiswa didorong untuk  fokus  pada kegiatan akademis semata. Atmosfer kampus terasa

tegang dan  terkekang.

 

 Tanpa kusadari, ada sebuah ironi yang  mendalam dan  pahit dalam hidupku saat itu. Di luar sana, pemerintah berusaha keras untuk  "menormalkan" kehidupan kampus yang  mereka anggap bergejolak. Sementara di dalam diriku, aku sedang berjuang mati-matian dalam pertempuran sunyi

untuk  "menormalkan" pikiranku sendiri yang berayun liar antara dua  kutub ekstrem. Pemerintah menggunakan represi untuk menciptakan keteraturan semu, sementara aku harus mencari caraku sendiricara yang terapeutik dan  internaluntuk menemukan stabilitas di tengah kekacauan biokimia.

 

Perjuanganku di IKIP Bandung adalah perjuangan di dua  front.  Aku harus berjibaku dengan materi kuliah yang  menantang, sambil  terus-menerus mengelola episode-episode bipolar yang  datang silih berganti tanpa peringatan. Aku ingat suatu hari di kelas Statistik, kabut depresi begitu tebal hingga suara dosen terdengar seperti dengungan dari kejauhan. Angka-angka di papan tulis menari- nari tanpa makna, dan  aku harus mengerahkan seluruh sisa  tenagaku hanya untuk  tetap duduk tegak dan  tidak menangis. Di lain waktu,  saat episode hipomania datang, aku harus menahan keinginan untuk menyela dosen, untuk  mendebat teorinya, untuk  menunjukkan bahwa aku punya pemahaman yang  lebih superior.

 

Menyelesaikan studi  selama enam tahun, dari 1988 hingga akhirnya lulus pada September 1994,

adalah sebuah maraton yang  menguras jiwa dan raga. Setiap semester yang  berhasil kulalui adalah kemenangan kecil. Setiap ujian yang  bisa kuselesaikan adalah bukti keteguhan. Hari wisudaku, saat namaku dipanggil dan  aku melangkah ke atas panggung, bukan hanya tentang mendapatkan gelar  sarjana. Itu adalah monumen kemenanganku atas diriku sendiri dan atas keadaan. Aku berhasil meniti buih di lautan yang  bergelombang, menemukan pijakan  di tengah kampus yang  "dinormalkan" dan  pikiran yang  bergejolak.

 

Bagian II: Pelabuhan Hati dan Panggilan Jiwa

 

Bab 4: Menemukan Ritme


 Bertahan hidup  dengan bipolar adalah satu hal, tetapi untuk  benar-benar hidup,  aku sadar aku membutuhkan lebih dari sekadar tekad baja.  Aku membutuhkan jangkar-jangkar, sebuah sistem yang bisa  menahanku ketika gelombang pasang mania  datang atau ketika arus  surut depresi menarikku ke dasar samudra keputusasaan. Tanpa kusadari, aku mulai membangun sistem itu melalui hobi-hobiku, yang  kemudian menjadi pilar-pilar penyelamat hidupku.

 

Karate adalah jangkar pertamaku. Di dalam dojo yang  berbau keringat dan  kayu, dengan seragam putih  yang  mengikat, aku menemukan struktur. Setiap kata, setiap gerakan yang  presisi, dan setiap teriakan (kiai) yang  keluar  dari pangkal tenggorokan adalah sebuah latihan disiplin yang memaksa pikiranku untuk fokus pada satu titik. Di sana, tidak ada ruang untuk  pikiran yang  berpacu atau kesedihan yang  melumpuhkan. Yang adhanyalah saat ini, gerakan ini, napas ini. Disiplin fisik karate menjadi metafora bagi disiplin mental yang  harus kubangun.

 

Kemudian, aku menemukan air. Berenang di kolam renang menjadi ritual meditatifku. Sensasi air dingin yang  menyelimuti tubuhku, gerakan lengan yang  berirama, dan  tarikan napas yang  teratur menciptakan sebuah keheningan yang menenangkan. Di dalam air, semua kebisingan di kepalaku mereda. Setiap kayuhan terasa seperti membilas kecemasan dan  menstabilkan suasana hatiku.

 

Namun,  jangkar yang  paling  merdu adalah musik. Gitar tua  di tanganku menjadi alat untuk menerjemahkan kekacauan di dalam menjadi harmoni di luar. Saat mania  datang dengan energinya yang  meluap-luap, aku akan  memainkan melodi  yang  cepat dan  energik, menyalurkan gejolak  itu menjadi sesuatu yang  kreatif. Saat depresi menyergap, aku akan  memainkan lagu- lagu balada yang  lembut, membiarkan musik menjadi teman dalam kesedihanku, mengakui perasaan itu tanpa membiarkannya menelanku.

 

Tentu  saja,  semua ini tidak akan  cukup tanpa bantuan profesional. Aku rutin berobat ke seorang psikiater tua  yang  bijaksana di Bandung. Aku ingat pertemuan pertama kami, di mana aku menceritakan semuanya dengan putus asa. Beliau hanya mendengarkan dengan sabar, lalu berkata, "Soleh,  obat ini akan  membantu menstabilkan fondasi rumahmu. Tapi kamulah yang  harus membangun dinding  dan  atapnya dengan rutinitas dan  gaya hidup  yang  sehat." Kata-kata itu menjadi peganganku. Obat menjadi fondasi, dan  jangkar- jangkarku menjadi dinding  yang  melindungiku.

 

Bab 5: Panggilan Jiwa  di Antapani

 

 

Tahun  1994 adalah tahun yang  monumental. Dtahun yang  sama ketika aku berhasil menyelesaikan maraton pendidikanku, sebuah kesempatan emas terbentang di hadapanku. Pemerintah membuka sebuah sekolah menengah atas negeri baru di kawasan Antapani, Bandung. Namanya SMAN 23 Bandung. Berkat  beasiswa Tunjangan Ikatan  Dinas (TID) yang  kuperoleh saat kuliah, aku mendapat keistimewaan. Sepucuk surat resmi datang, mengabarkan bahwa aku diangkat langsung menjadi guru  PNS di sekolah baru itu, tanpa perlu  melalui ujian saringan yang terkenal sulit.

 

Ketika aku memegang surat itu, tanganku sedikit gemetar. Di benakku masih  terngiang bisikan- bisikan  keraguan yang  ditanamkan oleh penyakitku: "Apakah kamu  cukup stabil? Bagaimana jika kamu  kambuh di depan kelas? Apakah kamu  bisa bertanggung jawab atas pendidikan ratusan anak?" Namun,  ada suara laiyang  lebih kuat,  suara panggilan jiwa yang  telah kutemukan di bangku kuliah. Aku mencintai biologi. Aku ingin berbagi keajaiban ilmu kehidupan dengan generasi muda.

 

Status PNS memberikan sebuah rasa aman dan stabilitas yang  tak ternilai.  Ini bukan sekadar pekerjaan; ini adalah sebuah penegasan. Aku bisa. Aku mampu. Aku layak mendapatkan kehidupan yang  normal  dan  terhormat. Memasuki lingkungan SMAN 23 Bandung yang  saat itu masih  baru, dengan bau  cat yang  masih  segar dan  halaman yang  belum  sepenuhnya tertata, aku menemukan sebuah ritme baru. Bel masuk dan  bel pulang, jadwal mengajar yang  teratur, persiapan materi pelajaran, interaksi dengan rekan-rekan guru,  dan terutama, berhadapan dengan wajah-wajah penuh harap para siswa,  semua itu membentuk sebuah kerangka yang  kokoh bagi hari-hariku. Mengajar biologi bukan lagi sekadar mentransfer ilmu. Ketika aku menjelaskan tentang keseimbangan ekosistem atau kompleksitas sel, aku sebenarnya sedang berbicara tentang perjuanganku sendiri.  Di sekolah yang  beralamat di Jalan Malangbong Raya itu, aku tidak hanya menemukan sebuah profesi. Aku menemukan sebuah pelabuhan, sebuah panggilan jiwa yang membantuku menavigasi lautan dalam diriku dengan lebih mantap.

 

Bab 6: Cinta Abadi Bernama Nissa

 

 Jika profesi sebagai guru  adalah jangkar yang memberiku stabilitas, maka  cinta  adalah pelabuhan yang  memberiku kehangatan dan tempat berpulang. Pada tahun 1997, tiga tahun setelah aku memulai karierku,  takdir mempertemukanku dengan cinta  pertamaku, seorang wanita cantik  dan  berhati lembut bernama Nissa Khairunisa.

 

Kami bertemu di sebuah acara pernikahan teman. Aku datang karena terpaksa, dia ada di sana sebagai salah satu panitia. Di tengah keramaian, mataku menangkap sosoknya yang  bergerak dengan anggun, senyumnya yang  tulus tak pernah lepas dari bibirnya. Aku memberanikan diri untuk menyapanya, dan  percakapan kami mengalir begitu saja,  mudah dan  tanpa beban. Aku terpikat oleh senyumnya, matanya yang  memancarkan kebaikan, dan  kemampuannya untuk mendengarkanbenar-benar mendengarkantidak hanya kata-kataku, tetapi juga keheningan di baliknya.

 

Setelah beberapa kali bertemu, aku tahu aku harus jujur. Aku tidak bisa  membangun hubungan di atas kebohongan. Suatu sore, di sebuah kafe sederhana di Jalan Braga, dengan jantung berdebar kencang, aku menceritakan semuanya. Tentang diagnosis bipolar. Tentang episode maniyang  membuatku merasa seperti dewa dan  jurang depresi yang  membuatku ingin mati. Aku menceritakan semuanya, lalu terdiam, bersiap untuk  melihat keraguan atau bahkan ketakutan di matanya, seperti yang  sering kulihat pada orang lain.

 

Nissa terdiam sejenak, menatapku dalam-dalam. Lalu, dia mengulurkan tangannya melintasi meja dan menggenggam tanganku. "Terima kasih sudah percaya padaku, Soleh,"  katanya lembut, suaranya mantap. "Bagiku, itu tidak mengubah apa pun. Itu hanya bagian dari dirimu, seperti warna matamu atau caramu tertawa. Kita hadapi ini bersama- sama."

 

Saat itu, aku tahu aku telah menemukan rumah. Penerimaannya yang  utuh  dan  cinta  tanpa syarat adalah bentuk terapi yang  paling  kuat.  Dia menjadi penyeimbangku. Ketika aku mulai terbang terlalu tinggi dalam episode hipomania, dia dengan lembut akan  berkata, "Sayang, buminya di sini," sambil  memelukku. Ketika aku tenggelam dalam kabut depresi, dia akan  duduk di sampingku dalam diam, kehadirannya menjadi sauh yang mengingatkanku bahwa aku tidak sendirian.

 

Kami menikah di tahun yang  sama, membangun sebuah rumah tangga yang  penuh dengan tawa, pengertian, dan  dukungan. Kehidupan kami terasa lengkap ketika pada tanggal 14 Februari 2005, tepat di Hari Kasih Sayang, Tuhan menganugerahkan kami seorang putra yang tampan. Kehadirannya menyempurnakan kebahagiaan kami, mengikat cinta  kami dalam wujud nyata yang  bisa  kami dekap dan  cium setiap hari. Bersama Nissa dan  putra kami, aku

merasakan kedamaian yang  selama ini hanya bisa kuimpikan.  Aku tidak tahu saat itu, bahwa pelabuhan terindah ini akan  diuji oleh gelombang paling  dahsyat yang  pernah ada.


  

Bagian III: Gelombang Paling  Dahsyat

 

Bab 7: Dalam Badai  Kanker

 

 

Kebahagiaan kami yang  tenang dan  damai, yang kubangun dengan susah payah di atas fondasi cinta dan  rutinitas, tiba-tiba terkoyak. Suatu hari, Nissa, pilar kekuatanku, didiagnosis menderita kanker  payudara. Aku ingat hari itu dengan sangat jelas. Kami duduk di sebuah ruangan kecil yang dingin di Rumah Sakit Hermina,  berhadapan dengan seorang dokter yang  wajahnya tampak lelah. Kata-kata dokter itukarsinoma, stadium lanjut, kemoterapiterasa seperti palu godam yang menghancurkan dunia  kami berkeping- keping.

 

Badai yang  datang kali ini bukan lagi milikku seorang, melainkan milik kami berdua. Dan dalam sekejap, peranku berubah. Aku bukan hanya seorang suami; aku adalah seorang perawat, seorang manajer krisis, seorang peneliti amatirdan  seorang pejuang pendamping.

 

 Jadwal hidupku berputar di sekitar kebutuhannya. Aku yang  mengantarnya bolak-balik ke rumah sakit untuk  sesi  kemoterapi yang  menyakitkan, menemaninya berjam-jam di ruang tunggu yang steril, memastikan ia meminum puluhan pil obatnya tepat waktu,  dan  belajar memasak makanan bergizi untuk  menjaga kekuatannya. Ketika efek samping kemoterapi membuatnya terlalu  lemah  bahkan untuk  berjalan ke kamar mandi,  aku mengambil alih semua tugas rumah tangga.

 

Aku menghabiskan malam-malamku, setelah Nissa terlelap, dengan membaca segala hal tentang kanker  payudara di internet. Aku mencoba memahami setiap istilah medis, setiap pilihan pengobatan, dan  setiap kemungkinan efek samping. Aku menjadi jembatan antara bahasa dokter yang  rumit dan  kekhawatiran Nissa yang tulus.

  

Namun,  tugas terberatku adalah menjaga semangatnya. Kanker dan  kemoterapi merenggut banyak hal darinya—rambutnya yang  indah, energinya, dan  terkadang, senyumnya. Suatu malam,  aku menemukannya menangis diam-diam di depan cermin, menatap kepalanya yang  botak. Aku memeluknya dari belakang, menatap bayangan kami di cermin. "Bagiku," bisikku di telinganya, "kamu tidak pernah lebih cantik  dari saat ini. Karena sekarang aku bisa  melihat dengan jelas betapa kuatnya dirimu." Aku menjadi tempatnya menumpahkan segala ketakutan, kemarahan, dan  kesedihan. Aku belajar untuk

tidak selalu  memberikan solusi, tetapi cukup dengan hadir  dan  mendengarkan.

 

Bab 8: Perjuangan Ganda Seorang Pejuang

 

 

Menjadi perawat utama bagi Nissa adalah sebuah tugas yang  menuntut seluruh energi fisik dan mentalku. Namun,  aku menghadapi tantangan yang tidak biasa: aku harus menjadi batu karang bagi istriku, sementara di dalam diriku sendiri, lautan bipolar selalu  berpotensi bergejolak. Ini adalah sebuah perjuangan ganda, sebuah dualitas yang  mengerikan.

 

Setiap hari adalah sebuah tindakan penyeimbangan yang  rumit. Stres finansial akibat biaya  pengobatan yang  mahal, jadwal tidur yang tidak menentu, dan  kecemasan akan  kehilangan dia adalah pemicu (trigger) potensial yang  sangat berbahaya bagi stabilitas bipolarku. Aku bisa merasakan bisikan-bisikan depresi yang  mulai merayap di sudut-sudut pikiranku, mencoba menarikku kembali ke dalam kegelapan.

 

Aku ingat suatu sore, setelah hari yang  sangat berat di umah sakit, aku merasa kabut depresi itu mulai turun. Aku hanya ingin berbaring di kamar gelap dan  menghilang. Tapi kemudian aku mendengar Nissa memanggilku dengan suara lemah  dari kamar  tidur. Aku menarik napas dalam- dalam, menatap cermin, dan  berkata pada bayanganku sendiri,  "Tidak sekarang. Dia membutuhkanmu. Kamu harus kuat untuknya."

 

Cintaku  pada Nissa menjadi mood stabilizer terkuatku, lebih manjur  dari obat apa pun. Setiap kali aku merasa lelah atau putus asa, aku akan menatap wajahnya yang  sedang terlelap, dan  aku menemukan alasan untuk terus berjuang. Perjuanganku untuk  tetap sehat bukan lagi hanya untuk  diriku sendiri;  ini untuknya. Aku harus stabil agar bisa  menjadi sandarannya. Aku harus kuat agar bisa  mengangkatnya saat ia jatuh.  Masa- masa itu adalah ujian terberat dalam hidupku. Aku adalah seorang penyintas penyakit kronis yang merawat seorang pejuang penyakit terminal. Kami adalah dua  orang yang  sama-sama berjuang untuk  bertahan hidup,  saling  memberikan kekuatan dalam kerapuhan kami masing-masing.

 

Bab 9: Hingga Napas Terakhir

 

 Perjalanan Nissa melawan kanker  adalah sebuah epik keberanian. Dia bertarung dengan segenap kekuatan yang  dimilikinya, melewati setiap sesi kemoterapi dan  setiap prosedur medis dengan ketabahan yang  luar biasa. Namun,  ada pertempuran yang  bahkan pejuang terkuat pun tidak bisa  menangkan.

 

Hari-hari terakhirnya di Rumah Sakit Hermina terpatri selamanya dalam ingatanku. Ruangan itu, yang  seharusnya terasa dingin dan  steril, justru penuh dengan kehangatan cinta  kami yang  telah teruji selama puluhan tahun. Aku tidak pernah meninggalkannya. Aku memegang tangannya, membisikkan cerita-cerita tentang pertemuan pertama kami, menyanyikan lagu-lagu kesukaan ami dengan suara parau, dan  meyakinkannya bahwa cintaku akan  selalu  menyertainya.

 

Putra kami, yang  saat itu sudah remaja, menunjukkan kedewasaan yang  melampaui usianya. Dia duduk di sisi ranjang ibunya, menggenggam tangannya yang  lain, menjadi bukti hidup  dari cinta  kami yang  abadi. Di tengah rasa sakit yang  tak terperi, Nissa masih  bisa tersenyum menatap kami berdua. Matanya seolah berkata, "Semuanya akan  baik-baik saja."

 

Pada tanggal 24 Januari 2021, sang pejuang itu akhirnya beristirahat. Nissa Khairunisa, cinta sejatiku, mengembuskan napas terakhirnya dengan tenang, dalam dekapanku. Tidak ada lagi rasa sakit, tidak ada lagi perjuangan. Yang tertinggal di ruangan itu adalah keheningan yang memekakkan telinga dan  sebuah lubang menganga di hatiku  yang  kurasa tak akan  pernah

bisa  terisi kembali. Kepergiannya bukanlah sebuah kekalahan. Itu adalah pembebasan dari penderitaan. Saat itu, di samping jasadnya yang telah damai, aku berjanji  dalam hati. Aku akan terus hidup,  bukan hanya untuk  diriku sendiri, tetapi untuk  melanjutkan warisan cintanya. Aku akan  menjaga putra kami, dan  aku akan  menjaga hatiku  agar tetap penuh dengan cinta  untuknya, selamanya.

 

Bagian IV: Mengarungi Samudra Baru

 

Bab 10: Ayah,  Sahabat, dan Nakhoda

 

 

Kepergian Nissa meninggalkan kekosongan yang luas, seperti samudra setelah badai reda. Di tengah lautan duka  itu, aku dan  putra tunggalku hanya memiliki satu sama lain. Kami adalah dua orang yang  selamat, terombang-ambing di atas sebuah rakit kecil bernama keluarga. Dalam sekejap, peranku kembali  bertransformasi. Aku bukan hanya seorang ayah;  aku harus menjadi ibu sekaligus, menjadi sahabat, dan  yang  terpentingmenjadi nakhoda yang  akan  mengemudikan kapal kecil kami melewati perairan duka  yang  belum terpetakan.

 

Kami menavigasi kesedihan bersama. Ada hari- hari di mana kami hanya duduk dalam diam di ruang keluarga, saling memahami kehilangan yang kami rasakan tanpa perlu  berkata-kata. Ada pula malam-malam di mana kami mencoba memasak resep rendang andalan Nissa, dan  berakhir

dengan daging yang  gosong dan  dapur yang berasap, lalu kami tertawa terbahak-bahak di tengah air mata. Momen-momen kecil itulah yang menyelamatkan kami.

 

Aku melihat dengan bangga bagaimana putraku tumbuh menjadi pemuda yang  tangguh dan berprestasi. Duka tidak membuatnya patah, justru menempanya menjadi lebih kuat. Kesuksesannya diterima di jurusan Manajemen Universitas Widyatama adalah bukti dari ketekunan dan kecerdasannya. Melihatnya melangkah mantap menuju  masa depannya adalah sumber kekuatan terbesarku. Dia adalah alasanku untuk  bangkit setiap pagi, untuk  terus menjaga stabilitasku, dan untuk  memastikan bahwa kapal keluarga kami

tidak hanya bertahan, tetapi terus berlayar menuju cakrawala baru.

 

Bab 11: Belajar Seumur Hidup

 

 Setelah Nissa tiada, aku menyadari bahwa aku tidak bisa  hanya diam dan  membiarkan duka mendefinisikan sisa hidupku. Aku butuh tujuan baru, sebuah tantangan yang  bisa  mendorongku untuk  terus bertumbuh. Semangat belajar yang telah menjadi bagian dari diriku sejak  kecil kembali menyala. Aku membuat keputusan yang  bagi sebagian orang mungkin  tampak gila: kembali  ke bangku kuliah untuk  menempuh pendidikan Magister.


 

Aku mendaftar di Program Pascasarjana Universitas Widyatama, memilih konsentrasi Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM). Pilihan ini bukanlah kebetulan. Setelah direnungkan, seluruh hidupku adalah sebuah studi  kasus panjang tentang manajemen sumber daya manusia yang  paling  kompleks. Aku harus me- manajemen sumber daya mentalku sendiri untuk bertahan dari bipolar. Aku harus me-manajemen krisis kesehatan dan  emosional istriku. Dan kini, aku harus me-manajemen proses duka  dan pertumbuhan putraku sebagai orang tua  tunggal.

 

Kembali menjadi mahasiswa di usiaku  yang  tak lagi muda adalah sebuah pengalaman yang menyegarkan sekaligus menggelikan. Aku duduk di antara anak-anak muda yang  usianya sebaya dengan putraku. Namun,  setiap teori yang kupelajaritentang kepemimpinan, manajemen kinerja, pengembangan talentaseolah memberikan nama dan  kerangka pada apa yang telah kualami. Ini adalah sebuah proses penyembuhan yang  unik. Dengan belajar, aku mengubah diriku dari objek penderitaan menjadi subjek yang  aktif menganalisis dan  memahami kekuatan-kekuatan yang  telah membentuk hidupku.

 

Bab 12: Melodi  Kehidupan Kini

 

 

Hidupku hari ini adalah sebuah mozaik yang  kaya warna, tersusun dari kepingan-kepingan peran dan minat  yang  berbeda, namun membentuk satu

kesatuan yang  harmonis. Pagi hari, aku adalah Pak Soleh,  guru  Biologi di SMAN 23 Bandung, yang menemukan kegembiraan dalam memantik rasa ingin tahu di benak para siswaku. Malam hari dan akhir pekan, aku adalah Soleh,  mahasiswa pascasarjana yang  bergelut dengan teori dan

studi  kasus, membuktikan bahwa tidak ada kata terlambat untuk  belajar.


 Di sela-sela itu, aku adalah seorang ayah  yang bangga, seorang koki amatir yang  menemukan ketenangan dalam meracik bumbu di dapur, seorang perenang yang  menemukan kedamaian di dalam air, dan  seorang musisi yang  masih  setia pada gitar  tuanya. Aku bahkan memberanikan diri menjelajahi dunia  baru  di media sosial.  Aku membuat konten video singkat di TikTok dan Instagram, berbagi sedikit tentang hobiku memasak, pemikiranku tentang pendidikan, atau sekadar humor ringan ala bapak-bapak.

 

Semua inimengajar, belajar, memasak, berolahraga, bermusik, dan  bersosialisasibukanlah aktivitas yang  terpisah-pisah. Mereka adalah not-not yang  berbeda dalam sebuah komposisi musik yang  sama. Mereka adalah melodi kehidupanku kini, sebuah lagu yang  kutulis sendiri untuk  merayakan ketahanan, pertumbuhan, dan  harapan. Meskipun bayang-bayang duka masih sesekali datang dan  tantangan bipolar akan  selalu  menjadi bagian dari diriku, aku telah belajar untuk  tidak hanya bertahan. Aku

telah belajar untuk  menari di tengah badai, menciptakan keindahan dari kekacauan, dan  terus mengarungi samudra kehidupan dengan

semangat yang  tak pernah padam. Cinta untuk almarhumah Nissa tetap menjadi nada dasar yang mengalun syahdu di sepanjang lagu ini, sebuah cinta  abadi yang  memberiku kekuatan untuk  terus melangkah.

 

Epilog: Surat  untuk Para Pejuang

 

 

Sore ini, aku duduk di teras rumah, ditemani secangkir teh  hangat dan  sebuah foto  Nissa dalam bingkai perak. Senyumnya di foto  itu masih sama, abadi dan  menenangkan. Melihatnya, aku merasa terdorong untuk  menuliskan ini. Jika kau membaca buku ini hingga akhir, kemungkinan

besar kau, atau seseorang yang  kau cintai,  sedang mengarungi samudra yang  sama denganku. Samudra yang  terkadang tenang, namun sering kali bergelombang dahsyat bernama gangguan bipolar. Untukmu,  para pejuang sesama, aku ingin berbagi beberapa hal yang  telah kupelajari dalam perjalananku yang  panjang.

 

Pertama, ketahuilah bahwa kau tidak sendirian. Ketika badai pertama datang, aku merasa terisolasi, seolah aku satu-satunya orang di dunia yang  pikirannya telah berkhianat. Namun,  kita adalah sebuah armada yang  besar, meskipun sering kali tak terlihat. Dengan berbagi kisah, kita bisa  menjadi mercusuar bagi satu sama lain.

 

Kedua,  terimalah bahwa bipolar adalah bagian dari dirimu, tetapi ia tidak mendefinisikan siapa dirimu. Ia adalah kondisi medis, seperti diabetes atau asma, bukan kelemahan moral atau kegagalan karakter. Menerima diagnosis adalah langkah pertama menuju  pengelolaan, bukan akhir dari segalanya. Hidup yang  penuh makna, cinta, dan  pencapaian bukan hanya mungkin,  tetapi sepenuhnya dalam jangkauanmu.

 

Ketiga, bangunlah jangkar-jangkarmu. Seperti yang telah kubagikan, jangkar bisa  datang dalam berbagai bentuk: rutinitas yang  teratur, disiplin olahraga, pelarian kreatif melalui seni atau musik, tujuan hidup  melalui pekerjaan atau pendidikan, dan  yang  terpenting, cinta  dan  dukungan dari orang-orang di sekitarmu. Temukan apa yang  bisa menstabilkanmu, dan  pegang itu erat-erat. Jadikan itu ritual sucimu.

 

Terakhir,  dan  ini yang  paling  penting, jangan pernah kehilangan harapan. Akan ada hari-hari yang  gelap, hari-hari di mana kau merasa ingin menyerah. Aku pernah berada di sana, di dasar jurang yang  paling  dalam. Namun,  seperti siklus alam, setelah malam  yang  paling  gelap sekalipun, fajar pasti akan  datang. Badai pasti akan  berlalu.

 

Hidup dengan bipolar bukanlah sebuah hukuman, melainkan sebuah panggilan untuk hidup  dengan lebih sadar, lebih sengaja, dan  lebih berani. Kita dipaksa untuk  menjadi nakhoda yang  andal bagi kapal kita sendiri.  Perjalanannya mungkin  tidak akan  pernah mulus, tetapi dengan kompas yang tepatkombinasi dari pengobatan medis, terapi, dukungan orang terkasih, dan  strategi koping pribadikita tidak hanya bisa  bertahan. Kita bisa berlayar dengan gagah berani, menemukan keindahan di tengah ombak, dan  mencapai pelabuhan-pelabuhan impian kita.

 

Teruslah berlayar, Pejuang. Samudra menantimu. Dengan hormat dan  solidaritas,

Soleh

6 comments:

Anonymous said...

It's just... wow.
Amazingly written. The words flowing out immaculately, easy to understand and digest, and somehow i really feel like it's written from the heart. Kudos to you, sir. Whether it's a fiction or nonfiction, this story touched my heart. Thank you

Suyono said...

Thank you very much for your attention

Anonymous said...

Amazing...luar biasa

Anonymous said...

Wow..kang Suyono jadi ingat waktu kuliah lapangan di cilaut Ereun Pameungpeuk..dirimu SDH agak lain..ternyata sy temanmu ga menyangka sebegitu berat perjuanganmu sebagai penyandang bipolar,yg sy tau kang Suyono pinter dan pendiam.
Mksh yaaa..SDH berbagi cara mengatasi semua itu...tulisannya mantap

Anonymous said...

Keren banget banget sedih banget, tapi dilain sisi suka banget cara penulisannya, mudah dimengerti dan masuk ke kalbu, makasih udah buat cerita ya!

Anonymous said...

keren, ga ada kata lain selain itu