Mengarungi Hidup dengan Bipolar dan Cinta
Abadi
Oleh: Suyono
Prolog: Gema di Ruang Kelas
Pagi itu, udara di dalam kelas XI-8 terasa begitu tebal dan hangat, seolah bisa dikunyah. Dengung monoton dari tiga bilah kipas angin
di langit-langit menjadi musik latar yang
membosankan bagi
pelajaran biologi. Di depan papan tulis putih,
di antara gambar siklus Krebs yang
menyerupai peta harta karun biokimia, aku berdiri. Namaku
Soleh. Dan di sinilah panggungku.
"Jadi, coba bayangkan sejenak," aku memulai, suaraku sengaja kubuat tenang, mencoba menarik benang-benang perhatian yang mulai kusut dari tiga puluh
pasang mata di hadapanku.
"Bayangkan tubuh kita ini seperti sebuah rumah pintar yang canggih. Rumah yang punya termostat, pengatur kelembapan, dan sistem keamanan sendiri."
Beberapa siswa di barisan depan menegakkan punggung, tertarik dengan analogi itu. "Rumah ini," lanjutku sambil mengetuk-ngetuk papan tulis dengan spidol, "harus selalu menjaga suhunya di angka 25 derajat Celcius, tidak peduli di luar sana sedang ada badai salju atau gelombang panas yang memanggang aspal. Itulah, dalam esensinya, homeostasis. Sebuah keajaiban tak henti dari tubuh kita untuk mempertahankan keseimbangan lingkungan internalnya—suhu, tekanan darah, kadar gula— agar setiap sistem, setiap organ, setiap sel, bisa berfungsi dalam harmoni sempurna."
Sebagian besar siswa mengangguk paham. Namun, di barisan ketiga, di dekat jendela yang terbuka, seorang siswi bernama Rina mengangkat tangan. Bukan gerakan ragu-ragu, melainkan sebuah sentakan penuh keyakinan. Matanya yang jernih, yang selalu tampak menganalisis, memancarkan rasa ingin tahu yang murni. Sebuah percikan api yang kuharap bisa kutemukan di setiap murid.
"Pak Soleh," tanyanya, suaranya jernih dan membelah udara kelas yang hangat. "Kalau
homeostasis itu menjaga keseimbangan kimia di tubuh secara umum, lalu... apa yang terjadi kalau
keseimbangan kimia di otak yang terganggu, Pak? Maksud saya, neurotransmiter dan semacamnya.
Apakah tubuh juga bisa memperbaikinya secara
otomatis seperti mengatur suhu?"
Pertanyaan itu. Begitu tajam, begitu polos, dan begitu menusuk. Dalam sekejap, dunia di sekelilingku membeku.
Dengung kipas
angin lenyap. Suara tawa dari
koridor sekolah mendadak hening,
teredam oleh sesuatu
yang tak
terlihat. Untuk satu detik yang
terasa abadi, aku bukan lagi Soleh, guru
biologi yang berwibawa. Aku terlempar kembali ke sebuah
pusaran waktu, ke sebuah badai yang telah
mengukir ulang seluruh peta geografis hidupku.
Pandanganku tanpa sadar beralih ke jendela, melewati Rina, menatap lapangan sekolah yang bermandikan cahaya
matahari pagi. Di sana, di balik citra
seorang pendidik yang stabil dan berdedikasi, ada sebuah dunia lain. Dunia yang dipenuhi puncak-puncak mania yang
menjulang angkuh dan jurang-jurang depresi yang
gelap tak berdasar. Pertanyaan Rina bukanlah sekadar
pertanyaan akademis bagiku. Itu adalah gema dari seluruh hidupku, sebuah bisikan
dari masa lalu yang bertanya, 'Ingat aku?'
Bagaimana jika keseimbangan itu runtuh? Akutahu persis jawabannya, bukan dari buku teks, melainkan dari memar-memar di jiwa. Karena aku telah menghabiskan lebih dari separuh hidupku untuk menjawabnya—dengan perjuangan sunyi, air mata yang tak terhitung, dan sebuah cinta yang melampaui logika.
Aku menarik napas
dalam-dalam, membawa diriku
kembali ke ruang kelas
yang
hangat. Aku menatap
Rina, dan untuk
pertama kalinya, aku memberinya senyum yang tidak
hanya
datang dari seorang guru, tetapi dari seorang penyintas.
"Itu pertanyaan yang sangat bagus, Rina," kataku, suaraku sedikit lebih lirih dari sebelumnya. "Dan jawabannya... rumit. Terkadang, tubuh butuh
bantuan dari luar untuk
menemukan kembali keseimbangannya. Dan itu adalah sebuah
perjalanan tersendiri."
Perjalanan yang kini
akan kuceritakan.
Bagian I: Akar dan Badai Pertama
Bab 1: Sang Juara dari Kaki Ciremai
Aku dilahirkan pada 14 November
1968, di Kuningan,
sebuah kota
asri yang
tidurnya dijaga oleh siluet agung Gunung Ciremai. Tumbuh besar di sana berarti hidup
dalam dekapan alam. Udara sejuk pegunungan adalah napas pertamaku,
dan bentangan sawah hijau zamrud yang
tak bertepi
adalah halaman bermainku. Kuningan, dengan motonya "Aman, Sehat, Rindang, Indah", menanamkan rasa damai dan
keteraturan dalam
diriku sejak dini.
Dalam keluarga sederhana kami, aku adalah anomali yang membanggakan. Sejak Sekolah Dasar, namaku seolah terpaku di peringkat pertama. Menjadi "juara kelas" bukan sekadar prestasi; itu adalah identitasku, lencanaku. Aku ingat malam-malam saat teman-temanku bermain kelereng di bawah cahaya bulan, aku duduk di meja belajar kayu, ditemani lampu teplok yang berkedip-kedip, melahap buku-buku pelajaran hingga larut. Aku percaya pada kekuatan dedikasi. Aku meyakini bahwa jika aku belajar lebih giat, berlari lebih kencang, dan berusaha lebih keras dari yang lain, pintu kesuksesan pasti akan terbuka lebar.
Dunia di hadapanku tampak seperti sebuah garis
lurus yang menanjak, sebuah
persamaan
matematika dengan hasil yang
sudah pasti. Setiap
ujian yang kulalui dengan nilai sempurna, setiap
piala cerdas cermat yang kubawa pulang, adalah
penegasan bahwa aku memegang kendali penuh atas masa depanku. Orang tuaku, dengan segala kesederhanaan mereka, menaruh seluruh harapan mereka di pundakku. Aku
adalah mercusuar
bagi keluarga, bukti hidup bahwa kerja keras dapat mengubah nasib.
Masa depanku terbentang cerah dan jelas: lulus sekolah dengan predikat terbaik, masuk universitas negeri ternama, mendapatkan pekerjaan yang mapan, dan mengangkat derajat keluarga. Sebuah narasi yang sempurna, sebuah rencana yang tak mungkin gagal. Saat itu, aku tidak pernah membayangkan bahwa ada kekuatan lain yang bersemayam di dalam diriku, sebuah kekuatan tak kasat mata yang mampu membelokkan garis lurus itu menjadi labirin yang paling rumit dan tak terduga. Aku adalah sang juara dari kaki Ciremai, seorang pemuda yang penuh percaya diri, yang belum menyadari bahwa badai terbesar dalam hidupnya tidak datang dari langit, melainkan dari dalam kepalanya sendiri.
Bab 2: Langit yang Runtuh
Tahun 1987, setelah toga kelulusan SMA kutanggalkan dengan bangga, langit dalam duniaku mulai menunjukkan retakan-retakan halus. Awalnya, retakan itu kecil, nyaris tak terlihat. Aku merasakannya sebagai gelombang energi yang luar biasa, sebuah sengatan listrik kosmik yang menjalar ke seluruh tubuh. Tiba-tiba, tidur terasa seperti sebuah konsep usang, sebuah pemborosan waktu yang tidak perlu. Tiga jam semalam terasa lebih dari cukup, dan aku akan bangun di tengah malam buta dengan semangat yang meluap-luap, seolah bisa menaklukkan dunia sebelum fajar menyingsing.
Pikiranku
berpacu lebih cepat dari kilat, melompat
dari satu ide cemerlang ke ide lainnya tanpa jeda.
Aku akan membangunkan ayahku pada pukul dua pagi hanya untuk menjelaskan rencanaku
membangun sistem irigasi canggih untuk seluruh
desa, lengkap dengan perhitungan matematis yang rumit. Aku berbicara tanpa henti, dengan kecepatan yang
membuat teman-temanku bingung dan keluargaku khawatir.
"Leh, kamu tidak tidur lagi?" tanya Ibu suatu subuh, menatapku dengan cemas saat aku sudah sibuk menata ulang seluruh perabotan rumah.
"Tidak perlu,
Bu! Pikiranku sedang menyala! Aku
baru saja
menemukan cara untuk
meningkatkan
hasil panen kita dua kali lipat!" jawabku
cepat, melompat dari topik pertanian ke
filsafat, lalu ke rencana perjalanan keliling dunia.
Aku merasa istimewa, berbakat,
dan sangat kuat,
seolah ada kekuatan
dewa yang merasukiku.
Fase ini, yang
kelak kuketahui sebagai
mania, adalah euforia yang paling
manis
sekaligus paling
menakutkan. Aku membuat rencana-rencana besar yang tidak
realistis, merasa tak terkalahkan, dan percaya diri secara berlebihan. Namun, di balik semua energi itu, ada sebuah
kegelisahan
yang tak
bisa diam. Sebuah dorongan untuk terus bergerak, yang pada akhirnya akan
meledak menjadi sebuah pengembaraan yang
tak akan pernah kulupakan.
Bab 2.5: Pengembaraan Tanpa
Arah
Energi di dalam diriku mencapai titik didih. Rasanya seperti ada mesin uap yang
bekerja di dalam dadaku, menuntut untuk
dilepaskan. Duduk diam di rumah terasa seperti penyiksaan. Suatu
pagi, tanpa pamit, tanpa tujuan yang jelas selain
mengikuti dorongan tak tertahankan untuk
bergerak, aku melangkah keluar dari rumah kami
di Kuningan. Matahari baru saja
mulai menghangatkan bumi, namun di dalam diriku, api sudah berkobar. Aku harus pergi. Ke mana? Tidak penting. Yang penting adalah bergerak.
Aku berjalan kaki. Langkahku cepat dan mantap, menyusuri jalanan desa, lalu masuk ke
jalan raya utama. Pikiranku
adalah sebuah simfoni yang
hingar bingar. Setiap pemandangan—pohon, tiang listrik, awan
di langit—seolah membawa pesan
rahasia yang hanya bisa kumengerti. Aku merasa seperti seorang nabi dalam sebuah misi suci.
Tujuanku
mulai terbentuk di dalam benakku yang berpacu: Majalengka. Ya, Majalengka. Ada sesuatu yang penting menungguku di sana. Aku tidak tahu apa, tapi aku yakin itu adalah takdir.
Berjam-jam aku berjalan tanpa lelah. Panas matahari yang menyengat tak
kurasakan. Aku menghentikan orang-orang di jalan, berbicara dengan mereka tentang rencanaku untuk mengubah dunia, tentang konspirasi-konspirasi
besar yang
hanya aku yang tahu. Sebagian besar
menatapku dengan aneh, sebagian
lagi mempercepat langkah mereka. Aku tak peduli.
Mereka hanya belum mengerti.
Menjelang sore, langkahku membawaku ke Cigasong.
Aku melihat sebuah kompleks
perumahan yang rapi dan
teratur, dengan
gerbang yang dijaga. Kompleks
tentara. Sesuatu
di dalam diriku tertarik pada keteraturan itu. Tentu saja! Misi rahasiaku pasti berhubungan dengan militer. Aku harus menyampaikan pesanku kepada seorang perwira tinggi. Dengan keyakinan penuh, aku melenggang masuk melewati gerbang, mengabaikan tatapan heran penjaga.
Aku berjalan di antara rumah-rumah yang
seragam, mencari pertanda. Akhirnya, aku memilih satu rumah secara acak dan mengetuk pintunya dengan keras. "Permisi! Ada pesan penting untuk
komandan!" teriakku.
Pintu terbuka. Di hadapanku berdiri seorang pria bertubuh tegap dengan kaus singlet, wajahnya
mengeras karena terganggu. Tanpa banyak bicara, ia mengangkat tangannya. Di tangannya,
sebuah pistol hitam
mengkilat ditodongkan lurus ke wajahku.
"Pergi," desisnya, matanya menyala marah. "Atau
kepala kau pecah di sini."
Anehnya, aku tidak merasa takut. Yang kurasakan adalah frustrasi. Kenapa dia tidak mengerti? Aku di sini untuk menyelamatkan mereka! "Bapak tidak paham! Ini menyangkut keamanan negara!" seruku, suaraku meninggi.
Dia tidak menjawab. Laras pistol
itu bergeming.
Beberapa tetangga mulai keluar, dan tak lama kemudian, dua orang tentara lain datang dan menyeretku dengan kasar keluar
dari kompleks. Aku diusir seperti anjing kurap,
teriakan- teriakanku tentang misi pentingku hilang ditelan angin malam
yang mulai
turun.
Kegagalan itu tidak memadamkan
apiku. Malam telah tiba, tapi perjalananku belum
selesai. Di pinggir jalan yang gelap, aku melihat seorang bapak tua
dengan tergos—sebuah sepeda kargo roda tiga yang
reyot. Ide cemerlang lain melintas di kepalaku. Aku
butuh kendaraan.
Aku menghampiri bapak itu dengan sisa-sisa pesonaku yang kacau. Aku berbicara cepat, tentang takdir, tentang misi penyelamatan, tentang betapa pentingnya perjalananku. Aku tidak tahu apa yang kukatakan, tapi entah bagaimana, bapak tua yang kebingungan itu akhirnya membiarkanku membawa tergos-nya, mungkin karena kasihan atau takut.
Dengan kendaraan baru, aku melanjutkan
perjalanan di tengah kegelapan. Aku mengayuh seperti orang gila, tawa manikku menggema di jalanan yang
sepi. Di sebuah tikungan gelap, di
dekat
sebuah warung remang-remang,
sekelompok preman sedang berkumpul. Mereka
menghentikanku.
"Wah, wah, ada pembalap malam,"
kata
salah satu
dari mereka, menghadang jalanku.
Rasa tak terkalahkanku membuncah. Aku bukan Soleh, pemuda biasa. Aku adalah seorang ksatria
dalam misi. Aku menantang mereka semua. "Minggir kalian! Jangan halangi jalan takdir!"
Mereka tertawa. Tawa itu memicu kemarahanku. Aku melayangkan pukulan pertama. Pertarungan
itu singkat dan brutal. Aku, yang merasa sekuat
dewa, ternyata hanyalah seorang pemuda kurus melawan lima orang pria jalanan. Pukulan
dan tendangan menghujani
tubuhku. Rasa sakit yang tajam menembus kabut manikku. Pandanganku menggelap. Hal terakhir yang
kuingat adalah
dinginnya aspal di pipiku.
Aku terbangun karena rasa sakit yang menyebar di seluruh tubuh. Kepalaku berdenyut hebat. Bau pesing dan anyir menyeruak ke hidungku. Aku membuka mata perlahan. Dinding kotor, lantai semen yang dingin, dan jeruji besi. Aku berada di dalam sel tahanan polisi. Energi dewaku telah lenyap, digantikan oleh kekosongan yang dingin, kebingungan, dan rasa malu yang menghancurkan. Aku babak belur, pakaianku robek dan kotor. Aku hanya bisa meringkuk di sudut, menangis dalam diam.
Keesokan harinya,
pintu sel
terbuka. Wajah ayah dan
keluarga muncul,
tampak cemas dan lelah luar biasa. Mereka telah mencariku semalaman.
Melihat kondisiku,
wajah
mereka berubah dari lega menjadi ngeri. Perjalanan pulang ke Kuningan adalah perjalanan yang
paling sunyi dalam hidupku.
Di rumah, Ibu memelukku sambil menangis tanpa henti. Mereka tahu ada yang sangat salah denganku. Pengembaraan gilaku menjadi titik balik. Keluarga membawaku bukan ke dukun atau orang pintar, melainkan ke rumah sakit. Untuk pertama kalinya, aku bertemu dengan seorang dokter jiwa. Setelah pemeriksaan panjang, aku dirawat. Selama satu bulan penuh, rumah sakit menjadi duniaku. Dinding putih, obat-obatan yang membuatku mengantuk, dan sesi terapi yang canggung. Di sanalah badai pertamaku secara resmi diberi nama. Dan di sanalah perjuangan sejatiku untuk menemukan kembali keseimbangan dimulai.
Bab 3: Meniti Buih di Kampus Merah
Namun,
kehidupan kampus di
era akhir 1980-an bukanlah sebuah taman yang
tenang. Saat itu,
rezim Orde Baru sedang gencar-gencarnya
menerapkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus
(NKK/BKK).
Kebijakan ini, yang lahir setelah gerakan mahasiswa kritis pada tahun 1978, bertujuan untuk "menjinakkan" kampus dan membungkam suara- suara vokal mahasiswa. Dewan
Mahasiswa dibekukan, kegiatan politik dilarang keras, dan mahasiswa didorong untuk
fokus pada kegiatan akademis semata. Atmosfer kampus terasa
tegang dan terkekang.
untuk "menormalkan" pikiranku sendiri yang berayun liar
antara dua
kutub ekstrem.
Pemerintah menggunakan represi untuk menciptakan keteraturan semu, sementara aku harus mencari caraku sendiri—cara yang terapeutik dan internal—untuk menemukan stabilitas di tengah kekacauan
biokimia.
Perjuanganku di IKIP Bandung adalah perjuangan di dua front. Aku harus berjibaku dengan materi kuliah yang menantang, sambil terus-menerus mengelola episode-episode bipolar yang datang silih berganti tanpa peringatan. Aku ingat suatu hari di kelas Statistik, kabut depresi begitu tebal hingga suara dosen terdengar seperti dengungan dari kejauhan. Angka-angka di papan tulis menari- nari tanpa makna, dan aku harus mengerahkan seluruh sisa tenagaku hanya untuk tetap duduk tegak dan tidak menangis. Di lain waktu, saat episode hipomania datang, aku harus menahan keinginan untuk menyela dosen, untuk mendebat teorinya, untuk menunjukkan bahwa aku punya pemahaman yang lebih superior.
Menyelesaikan studi
selama enam tahun, dari 1988 hingga akhirnya lulus pada September 1994,
adalah sebuah maraton yang menguras
jiwa dan raga. Setiap semester yang
berhasil kulalui adalah
kemenangan kecil. Setiap ujian yang
bisa kuselesaikan adalah bukti keteguhan. Hari wisudaku, saat
namaku dipanggil dan
aku melangkah ke atas panggung, bukan hanya
tentang mendapatkan gelar sarjana.
Itu adalah monumen kemenanganku atas diriku sendiri dan atas keadaan. Aku berhasil meniti buih di lautan yang
bergelombang, menemukan pijakan
di tengah kampus yang
"dinormalkan" dan pikiran yang bergejolak.
Bagian II: Pelabuhan Hati dan Panggilan
Jiwa
Bab 4: Menemukan Ritme
Karate adalah jangkar pertamaku. Di dalam dojo yang berbau keringat dan kayu, dengan seragam putih yang mengikat, aku menemukan struktur. Setiap kata, setiap gerakan yang presisi, dan setiap teriakan (kiai) yang keluar dari pangkal tenggorokan adalah sebuah latihan disiplin yang memaksa pikiranku untuk fokus pada satu titik. Di sana, tidak ada ruang untuk pikiran yang berpacu atau kesedihan yang melumpuhkan. Yang ada hanyalah saat ini, gerakan ini, napas ini. Disiplin fisik karate menjadi metafora bagi disiplin mental yang harus kubangun.
Kemudian, aku menemukan air. Berenang di kolam
renang menjadi ritual meditatifku. Sensasi air
dingin yang menyelimuti tubuhku, gerakan lengan
yang berirama, dan
tarikan napas
yang teratur menciptakan sebuah keheningan yang
menenangkan. Di dalam air, semua kebisingan di kepalaku mereda. Setiap kayuhan terasa seperti membilas kecemasan dan menstabilkan suasana hatiku.
Namun, jangkar yang paling merdu adalah musik. Gitar tua di tanganku menjadi alat untuk menerjemahkan kekacauan di dalam menjadi harmoni di luar. Saat mania datang dengan energinya yang meluap-luap, aku akan memainkan melodi yang cepat dan energik, menyalurkan gejolak itu menjadi sesuatu yang kreatif. Saat depresi menyergap, aku akan memainkan lagu- lagu balada yang lembut, membiarkan musik menjadi teman dalam kesedihanku, mengakui perasaan itu tanpa membiarkannya menelanku.
Tentu saja, semua ini tidak
akan cukup tanpa bantuan profesional. Aku rutin berobat ke seorang
psikiater tua yang
bijaksana di Bandung. Aku ingat
pertemuan pertama kami, di mana aku
menceritakan semuanya dengan putus asa. Beliau
hanya
mendengarkan dengan sabar, lalu berkata, "Soleh, obat ini akan
membantu menstabilkan
fondasi rumahmu. Tapi kamulah yang
harus membangun dinding
dan atapnya dengan rutinitas dan gaya hidup yang sehat." Kata-kata itu menjadi peganganku. Obat menjadi
fondasi, dan jangkar- jangkarku menjadi dinding
yang melindungiku.
Bab 5: Panggilan Jiwa di Antapani
Tahun 1994 adalah tahun yang monumental. Di tahun yang sama ketika aku berhasil menyelesaikan maraton pendidikanku, sebuah kesempatan emas terbentang di hadapanku. Pemerintah membuka sebuah sekolah menengah atas negeri baru di kawasan Antapani, Bandung. Namanya SMAN 23 Bandung. Berkat beasiswa Tunjangan Ikatan Dinas (TID) yang kuperoleh saat kuliah, aku mendapat keistimewaan. Sepucuk surat resmi datang, mengabarkan bahwa aku diangkat langsung menjadi guru PNS di sekolah baru itu, tanpa perlu melalui ujian saringan yang terkenal sulit.
Ketika aku memegang surat itu, tanganku sedikit gemetar. Di benakku masih terngiang bisikan- bisikan keraguan yang ditanamkan oleh penyakitku: "Apakah kamu cukup stabil? Bagaimana jika kamu kambuh di depan kelas? Apakah kamu bisa bertanggung jawab atas pendidikan ratusan anak?" Namun, ada suara lain yang lebih kuat, suara panggilan jiwa yang telah kutemukan di bangku kuliah. Aku mencintai biologi. Aku ingin berbagi keajaiban ilmu kehidupan dengan generasi muda.
Status PNS memberikan sebuah rasa aman dan stabilitas yang tak ternilai. Ini bukan sekadar pekerjaan; ini adalah sebuah penegasan. Aku bisa. Aku mampu. Aku layak mendapatkan kehidupan yang normal dan terhormat. Memasuki lingkungan SMAN 23 Bandung yang saat itu masih baru, dengan bau cat yang masih segar dan halaman yang belum sepenuhnya tertata, aku menemukan sebuah ritme baru. Bel masuk dan bel pulang, jadwal mengajar yang teratur, persiapan materi pelajaran, interaksi dengan rekan-rekan guru, dan terutama, berhadapan dengan wajah-wajah penuh harap para siswa, semua itu membentuk sebuah kerangka yang kokoh bagi hari-hariku. Mengajar biologi bukan lagi sekadar mentransfer ilmu. Ketika aku menjelaskan tentang keseimbangan ekosistem atau kompleksitas sel, aku sebenarnya sedang berbicara tentang perjuanganku sendiri. Di sekolah yang beralamat di Jalan Malangbong Raya itu, aku tidak hanya menemukan sebuah profesi. Aku menemukan sebuah pelabuhan, sebuah panggilan jiwa yang membantuku menavigasi lautan dalam diriku dengan lebih mantap.
Bab 6: Cinta Abadi Bernama Nissa
Kami bertemu di sebuah acara pernikahan
teman. Aku datang karena terpaksa, dia ada di sana sebagai salah satu panitia. Di tengah keramaian, mataku menangkap sosoknya yang bergerak dengan anggun, senyumnya yang tulus tak pernah lepas dari bibirnya. Aku memberanikan diri untuk menyapanya, dan
percakapan kami mengalir begitu saja,
mudah dan tanpa beban. Aku terpikat
oleh senyumnya, matanya yang memancarkan
kebaikan, dan
kemampuannya untuk
mendengarkan—benar-benar mendengarkan— tidak hanya kata-kataku,
tetapi juga keheningan di
baliknya.
Setelah beberapa kali bertemu, aku tahu aku harus jujur. Aku tidak bisa membangun hubungan di atas kebohongan. Suatu sore, di sebuah kafe sederhana di Jalan Braga, dengan jantung berdebar kencang, aku menceritakan semuanya. Tentang diagnosis bipolar. Tentang episode mania yang membuatku merasa seperti dewa dan jurang depresi yang membuatku ingin mati. Aku menceritakan semuanya, lalu terdiam, bersiap untuk melihat keraguan atau bahkan ketakutan di matanya, seperti yang sering kulihat pada orang lain.
Nissa terdiam sejenak, menatapku
dalam-dalam. Lalu, dia mengulurkan tangannya melintasi meja
dan
menggenggam tanganku. "Terima kasih sudah percaya padaku, Soleh,"
katanya lembut, suaranya mantap. "Bagiku, itu tidak mengubah apa pun. Itu hanya bagian dari dirimu, seperti warna matamu atau caramu tertawa. Kita hadapi ini bersama- sama."
Saat itu, aku tahu aku telah menemukan rumah. Penerimaannya yang utuh dan cinta tanpa syarat adalah bentuk terapi yang paling kuat. Dia menjadi penyeimbangku. Ketika aku mulai terbang terlalu tinggi dalam episode hipomania, dia dengan lembut akan berkata, "Sayang, buminya di sini," sambil memelukku. Ketika aku tenggelam dalam kabut depresi, dia akan duduk di sampingku dalam diam, kehadirannya menjadi sauh yang mengingatkanku bahwa aku tidak sendirian.
Kami menikah di tahun yang sama, membangun
sebuah rumah tangga yang
penuh dengan
tawa, pengertian, dan
dukungan. Kehidupan kami terasa lengkap ketika pada tanggal 14 Februari 2005, tepat di Hari Kasih Sayang, Tuhan menganugerahkan kami seorang putra yang
tampan. Kehadirannya menyempurnakan kebahagiaan kami, mengikat cinta
kami dalam
wujud nyata yang bisa kami dekap dan
cium setiap
hari. Bersama Nissa dan putra kami, aku
merasakan kedamaian yang selama ini hanya bisa
kuimpikan. Aku tidak tahu saat itu, bahwa pelabuhan
terindah ini akan diuji oleh gelombang
paling dahsyat yang pernah ada.
Bagian III: Gelombang Paling Dahsyat
Bab 7: Dalam Badai Kanker
Kebahagiaan kami yang tenang dan damai, yang kubangun dengan susah payah di atas fondasi
cinta dan rutinitas, tiba-tiba terkoyak. Suatu hari,
Nissa, pilar kekuatanku, didiagnosis menderita
kanker payudara. Aku ingat hari itu dengan sangat jelas. Kami duduk di
sebuah ruangan kecil yang dingin
di Rumah Sakit Hermina,
berhadapan
dengan seorang dokter
yang wajahnya tampak lelah. Kata-kata dokter itu—karsinoma, stadium lanjut,
kemoterapi—terasa
seperti palu godam yang menghancurkan dunia kami
berkeping- keping.
Badai yang datang kali ini bukan lagi milikku seorang, melainkan milik kami berdua. Dan dalam sekejap, peranku berubah. Aku bukan hanya seorang suami; aku adalah seorang perawat, seorang manajer krisis, seorang peneliti amatir, dan seorang pejuang pendamping.
Aku menghabiskan malam-malamku, setelah Nissa terlelap, dengan membaca segala hal tentang kanker payudara di internet. Aku mencoba memahami setiap istilah medis, setiap pilihan pengobatan, dan setiap kemungkinan efek samping. Aku menjadi jembatan antara bahasa dokter yang rumit dan kekhawatiran Nissa yang tulus.
Namun,
tugas terberatku adalah menjaga semangatnya. Kanker dan kemoterapi merenggut banyak hal darinya—rambutnya yang indah,
energinya, dan
terkadang, senyumnya. Suatu
malam, aku menemukannya menangis diam-diam di depan cermin, menatap kepalanya yang
botak. Aku memeluknya dari belakang, menatap bayangan kami di cermin. "Bagiku," bisikku di telinganya, "kamu tidak pernah lebih cantik dari saat ini. Karena sekarang aku bisa melihat dengan
jelas betapa kuatnya
dirimu." Aku menjadi tempatnya
menumpahkan segala ketakutan, kemarahan, dan kesedihan. Aku belajar untuk
tidak selalu memberikan solusi, tetapi cukup dengan hadir dan mendengarkan.
Bab 8: Perjuangan Ganda Seorang Pejuang
Menjadi perawat utama bagi Nissa adalah sebuah tugas yang menuntut seluruh energi fisik dan mentalku. Namun, aku menghadapi tantangan yang tidak biasa: aku harus menjadi batu karang bagi istriku, sementara di dalam diriku sendiri, lautan bipolar selalu berpotensi bergejolak. Ini adalah sebuah perjuangan ganda, sebuah dualitas yang mengerikan.
Setiap hari adalah sebuah tindakan
penyeimbangan yang rumit. Stres finansial akibat
biaya pengobatan yang mahal, jadwal tidur yang tidak menentu, dan kecemasan akan kehilangan dia adalah pemicu (trigger) potensial yang
sangat berbahaya bagi stabilitas bipolarku. Aku bisa merasakan bisikan-bisikan depresi yang mulai
merayap di sudut-sudut pikiranku, mencoba menarikku kembali ke dalam kegelapan.
Aku ingat suatu sore, setelah hari yang sangat berat di umah sakit, aku merasa kabut depresi itu mulai turun. Aku hanya ingin berbaring di kamar gelap dan menghilang. Tapi kemudian aku mendengar Nissa memanggilku dengan suara lemah dari kamar tidur. Aku menarik napas dalam- dalam, menatap cermin, dan berkata pada bayanganku sendiri, "Tidak sekarang. Dia membutuhkanmu. Kamu harus kuat untuknya."
Cintaku pada Nissa menjadi mood stabilizer terkuatku, lebih manjur dari obat apa pun. Setiap kali aku merasa lelah atau putus asa, aku akan menatap wajahnya yang sedang terlelap, dan aku menemukan alasan untuk terus berjuang. Perjuanganku untuk tetap sehat bukan lagi hanya untuk diriku sendiri; ini untuknya. Aku harus stabil agar bisa menjadi sandarannya. Aku harus kuat agar bisa mengangkatnya saat ia jatuh. Masa- masa itu adalah ujian terberat dalam hidupku. Aku adalah seorang penyintas penyakit kronis yang merawat seorang pejuang penyakit terminal. Kami adalah dua orang yang sama-sama berjuang untuk bertahan hidup, saling memberikan kekuatan dalam kerapuhan kami masing-masing.
Bab 9: Hingga Napas Terakhir
Hari-hari terakhirnya di Rumah Sakit Hermina terpatri selamanya dalam ingatanku. Ruangan itu, yang seharusnya terasa dingin dan steril, justru penuh dengan kehangatan cinta kami yang telah teruji selama puluhan tahun. Aku tidak pernah meninggalkannya. Aku memegang tangannya, membisikkan cerita-cerita tentang pertemuan pertama kami, menyanyikan lagu-lagu kesukaan ami dengan suara parau, dan meyakinkannya bahwa cintaku akan selalu menyertainya.
Putra kami, yang
saat itu sudah remaja,
menunjukkan kedewasaan yang melampaui usianya. Dia duduk di sisi ranjang ibunya, menggenggam tangannya yang
lain, menjadi bukti
hidup dari
cinta kami yang abadi. Di tengah rasa sakit yang
tak terperi, Nissa masih
bisa tersenyum
menatap kami berdua. Matanya
seolah berkata, "Semuanya akan
baik-baik saja."
Pada tanggal 24 Januari 2021, sang pejuang itu akhirnya beristirahat. Nissa Khairunisa, cinta sejatiku,
mengembuskan napas terakhirnya
dengan tenang, dalam dekapanku. Tidak ada lagi
rasa sakit, tidak ada lagi perjuangan.
Yang tertinggal di ruangan itu adalah keheningan yang
memekakkan telinga dan
sebuah lubang menganga di hatiku yang
kurasa tak akan pernah
bisa terisi kembali. Kepergiannya bukanlah sebuah kekalahan. Itu adalah pembebasan dari penderitaan. Saat itu, di samping jasadnya yang telah damai, aku berjanji dalam hati. Aku akan terus hidup, bukan hanya untuk diriku sendiri, tetapi untuk melanjutkan warisan cintanya. Aku akan menjaga putra kami, dan aku akan menjaga hatiku agar tetap penuh dengan cinta untuknya, selamanya.
Bagian IV: Mengarungi Samudra Baru
Bab 10: Ayah, Sahabat, dan Nakhoda
Kepergian Nissa meninggalkan kekosongan yang luas, seperti samudra setelah badai reda. Di tengah lautan duka itu, aku dan putra tunggalku hanya memiliki satu sama lain. Kami adalah dua orang yang selamat, terombang-ambing di atas sebuah rakit kecil bernama keluarga. Dalam sekejap, peranku kembali bertransformasi. Aku bukan hanya seorang ayah; aku harus menjadi ibu sekaligus, menjadi sahabat, dan yang terpenting, menjadi nakhoda yang akan mengemudikan kapal kecil kami melewati perairan duka yang belum terpetakan.
Kami menavigasi kesedihan bersama. Ada hari- hari di mana kami hanya duduk dalam diam di ruang keluarga, saling memahami kehilangan yang kami rasakan tanpa
perlu berkata-kata. Ada pula malam-malam di mana kami mencoba memasak
resep rendang andalan Nissa, dan
berakhir
dengan daging yang
gosong dan dapur yang berasap, lalu kami tertawa terbahak-bahak di tengah air mata. Momen-momen kecil itulah yang menyelamatkan kami.
Aku melihat dengan bangga bagaimana putraku tumbuh menjadi pemuda yang tangguh dan berprestasi. Duka tidak membuatnya patah, justru menempanya menjadi lebih kuat. Kesuksesannya diterima di jurusan Manajemen Universitas Widyatama adalah bukti dari ketekunan dan kecerdasannya. Melihatnya melangkah mantap menuju masa depannya adalah sumber kekuatan terbesarku. Dia adalah alasanku untuk bangkit setiap pagi, untuk terus menjaga stabilitasku, dan untuk memastikan bahwa kapal keluarga kami
tidak hanya bertahan, tetapi terus berlayar menuju
cakrawala baru.
Bab 11: Belajar Seumur Hidup
Aku mendaftar di Program Pascasarjana Universitas Widyatama, memilih konsentrasi
Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM).
Pilihan ini bukanlah kebetulan. Setelah direnungkan, seluruh hidupku adalah sebuah studi kasus panjang tentang manajemen sumber daya manusia yang
paling kompleks. Aku harus me- manajemen sumber daya mentalku sendiri untuk
bertahan dari bipolar. Aku harus me-manajemen krisis kesehatan dan
emosional istriku. Dan kini, aku harus me-manajemen proses duka
dan pertumbuhan putraku sebagai orang tua
tunggal.
Kembali menjadi mahasiswa di usiaku yang tak lagi muda adalah sebuah pengalaman yang menyegarkan sekaligus menggelikan. Aku duduk di antara anak-anak muda yang usianya sebaya dengan putraku. Namun, setiap teori yang kupelajari—tentang kepemimpinan, manajemen kinerja, pengembangan talenta—seolah memberikan nama dan kerangka pada apa yang telah kualami. Ini adalah sebuah proses penyembuhan yang unik. Dengan belajar, aku mengubah diriku dari objek penderitaan menjadi subjek yang aktif menganalisis dan memahami kekuatan-kekuatan yang telah membentuk hidupku.
Bab 12: Melodi Kehidupan Kini
Hidupku hari ini adalah sebuah mozaik yang kaya warna, tersusun dari kepingan-kepingan peran dan minat yang berbeda, namun membentuk satu
kesatuan yang harmonis. Pagi hari, aku adalah Pak Soleh, guru
Biologi di SMAN 23 Bandung, yang
menemukan kegembiraan dalam memantik rasa
ingin tahu di benak para siswaku.
Malam hari dan akhir pekan, aku adalah Soleh,
mahasiswa pascasarjana yang bergelut dengan teori dan
studi kasus, membuktikan bahwa tidak ada kata terlambat untuk
belajar.
Semua ini—mengajar, belajar, memasak, berolahraga, bermusik, dan bersosialisasi— bukanlah aktivitas yang terpisah-pisah. Mereka adalah not-not yang berbeda dalam sebuah komposisi musik yang sama. Mereka adalah melodi kehidupanku kini, sebuah lagu yang kutulis sendiri untuk merayakan ketahanan, pertumbuhan, dan harapan. Meskipun bayang-bayang duka masih sesekali datang dan tantangan bipolar akan selalu menjadi bagian dari diriku, aku telah belajar untuk tidak hanya bertahan. Aku
telah belajar untuk menari di tengah badai,
menciptakan keindahan dari kekacauan, dan terus
mengarungi samudra kehidupan dengan
semangat yang
tak pernah padam. Cinta untuk almarhumah Nissa tetap menjadi nada dasar yang mengalun syahdu di
sepanjang lagu ini, sebuah
cinta abadi yang memberiku kekuatan untuk terus
melangkah.
Epilog: Surat untuk Para Pejuang
Sore ini, aku duduk di
teras rumah, ditemani
secangkir teh hangat dan sebuah foto Nissa
dalam
bingkai perak. Senyumnya di foto
itu masih
sama, abadi dan
menenangkan.
Melihatnya, aku
merasa terdorong
untuk menuliskan ini. Jika kau membaca buku ini hingga akhir, kemungkinan
besar kau, atau seseorang yang kau cintai, sedang mengarungi samudra yang sama denganku. Samudra yang terkadang tenang, namun sering kali bergelombang dahsyat bernama gangguan bipolar. Untukmu, para pejuang sesama, aku ingin berbagi beberapa hal yang telah kupelajari dalam perjalananku yang panjang.
Pertama, ketahuilah bahwa kau tidak sendirian. Ketika badai pertama datang, aku merasa terisolasi, seolah aku satu-satunya orang di dunia yang pikirannya telah berkhianat.
Namun, kita adalah sebuah armada yang
besar, meskipun sering kali tak terlihat.
Dengan berbagi kisah, kita bisa menjadi mercusuar bagi satu sama lain.
Kedua, terimalah bahwa bipolar adalah bagian dari dirimu, tetapi ia tidak mendefinisikan siapa dirimu. Ia adalah kondisi medis, seperti diabetes atau asma, bukan kelemahan moral atau kegagalan karakter. Menerima diagnosis adalah langkah pertama menuju pengelolaan, bukan akhir dari segalanya. Hidup yang penuh makna, cinta, dan pencapaian bukan hanya mungkin, tetapi sepenuhnya dalam jangkauanmu.
Ketiga,
bangunlah jangkar-jangkarmu. Seperti yang telah kubagikan, jangkar
bisa datang dalam berbagai bentuk: rutinitas yang teratur, disiplin olahraga, pelarian kreatif melalui seni atau musik,
tujuan hidup melalui pekerjaan atau pendidikan, dan
yang terpenting, cinta
dan
dukungan dari
orang-orang di sekitarmu. Temukan apa yang bisa
menstabilkanmu, dan pegang itu erat-erat.
Jadikan itu ritual sucimu.
Terakhir, dan ini yang paling penting, jangan pernah kehilangan harapan. Akan ada hari-hari yang gelap, hari-hari di mana kau merasa ingin menyerah. Aku pernah berada di sana, di dasar jurang yang paling dalam. Namun, seperti siklus alam, setelah malam yang paling gelap sekalipun, fajar pasti akan datang. Badai pasti akan berlalu.
Hidup dengan bipolar bukanlah
sebuah hukuman, melainkan
sebuah panggilan untuk hidup
dengan lebih sadar, lebih sengaja, dan
lebih berani. Kita
dipaksa untuk menjadi nakhoda yang andal bagi kapal kita sendiri. Perjalanannya mungkin tidak
akan pernah mulus, tetapi dengan kompas yang
tepat—kombinasi dari pengobatan medis, terapi, dukungan orang terkasih, dan strategi koping pribadi—kita tidak hanya bisa bertahan. Kita bisa berlayar dengan gagah berani, menemukan keindahan di tengah ombak,
dan mencapai pelabuhan-pelabuhan
impian kita.
Teruslah berlayar, Pejuang. Samudra menantimu. Dengan hormat dan solidaritas,
Soleh
6 comments:
It's just... wow.
Amazingly written. The words flowing out immaculately, easy to understand and digest, and somehow i really feel like it's written from the heart. Kudos to you, sir. Whether it's a fiction or nonfiction, this story touched my heart. Thank you
Thank you very much for your attention
Amazing...luar biasa
Wow..kang Suyono jadi ingat waktu kuliah lapangan di cilaut Ereun Pameungpeuk..dirimu SDH agak lain..ternyata sy temanmu ga menyangka sebegitu berat perjuanganmu sebagai penyandang bipolar,yg sy tau kang Suyono pinter dan pendiam.
Mksh yaaa..SDH berbagi cara mengatasi semua itu...tulisannya mantap
Keren banget banget sedih banget, tapi dilain sisi suka banget cara penulisannya, mudah dimengerti dan masuk ke kalbu, makasih udah buat cerita ya!
keren, ga ada kata lain selain itu
Post a Comment