Mengarungi Hidup: Skenario Adaptasi
ACT I: BADAI BERKUMPUL
SEQUENCE A: RETAKAN & KEJATUHAN
SCENE 1
INT. RUANG KELAS -
SIANG (HARI INI - BINGKAI CERITA)
Udara di dalam kelas XI-8 terasa tebal dan hangat. Tiga bilah
kipas angin di langit-langit berputar monoton, menjadi musik latar yang
membosankan.
Di depan papan tulis, SOLEH (50-an), seorang guru biologi yang
karismatik dan dihormati, berdiri dengan percaya diri. Ia adalah gambaran
stabilitas. Ia baru saja menyelesaikan gambar siklus Krebs yang rumit.
Beberapa siswa di barisan depan menegakkan punggung, tertarik.
Di barisan ketiga, dekat jendela, RINA (16), seorang siswi
dengan tatapan mata yang jernih dan analitis, mengangkat tangan dengan penuh
keyakinan.1
Pertanyaan itu menusuk. Dengung kipas angin mendadak lenyap.
Suara tawa dari koridor menjadi hening.
KAMERA PUSH IN ke wajah Soleh. Senyumnya yang percaya diri goyah
sejenak. Ia terlempar ke masa lalu.
Tatapannya beralih ke jendela, melewati Rina, menatap lapangan
sekolah yang bermandikan cahaya matahari.1
Soleh menarik napas dalam-dalam, membawa dirinya kembali ke masa
kini. Ia menatap Rina dengan senyum yang lembut dan penuh pengertian.
Saat ia mengucapkan kata "perjalanan", kita DISSOLVE
ke masa lalu.
SCENE 2
EXT. DESA DI
KUNINGAN - SIANG (FLASHBACK - 1987)
Visual yang subur dan indah. Hamparan sawah hijau zamrud dengan
latar belakang siluet agung Gunung Ciremai. Ini adalah dunia SOLEH MUDA (18),
seorang pemuda yang cemerlang dan penuh semangat.
MONTAGE CEPAT:
●
Soleh Muda memenangkan
lomba cerdas cermat, piala diangkat tinggi-tinggi. ORANG TUANYA menatap dengan
bangga dari kerumunan.
●
Malam hari,
teman-temannya bermain kelereng di bawah cahaya bulan. Soleh duduk di meja
belajar kayu, ditemani lampu teplok yang berkedip, melahap buku pelajaran.1
●
Ia berdiri di depan
papan pengumuman kelulusan, namanya terpampang di urutan teratas. Ia adalah
"sang juara dari kaki Ciremai," masa depannya tampak seperti
"garis lurus yang menanjak".1
SCENE 3
INT. RUMAH SOLEH -
MALAM
Pukul 2 pagi. Rumah gelap gulita, kecuali cahaya dari kamar
Soleh.
AYAH (50-an) terbangun dan menemukan Soleh sedang menggambar
dengan panik di atas kertas-kertas yang berserakan. Matanya liar, penuh energi
yang tidak wajar. Bicaranya cepat dan meluap-luap.
IBU (50-an) masuk, wajahnya penuh kecemasan saat melihat
putranya yang berbicara tanpa henti, melompat dari satu topik ke topik lain.1
Adegan berakhir dengan Ayah dan Ibu saling bertatapan cemas di
belakang punggung Soleh. Ketakutan mereka terlihat jelas.
SCENE 4-6: ODYSSEY MANIK
(SEBUAH RANGKAIAN KINETIK)
SCENE 4
EXT. JALAN MENUJU
MAJALENGKA - SIANG
Kamera handheld dan energik mengikuti Soleh yang berjalan dengan
langkah cepat dan mantap. Ia merasa seperti seorang nabi dalam misi suci. Ia
menghentikan orang-orang asing di jalan, berbicara dengan cepat tentang
"misi rahasia" dan "konspirasi besar".1 Orang-orang menatapnya
dengan aneh dan mempercepat langkah.
SCENE 5
EXT. KOMPLEKS
TENTARA, CIGASONG - SORE
Soleh melenggang dengan percaya diri melewati pos penjagaan
sebuah kompleks perumahan tentara. Ia merasa misinya berhubungan dengan
militer. Ia memilih satu rumah secara acak dan menggedor pintunya dengan keras.
Pintu terbuka. Seorang PRAJURIT bertubuh tegap dan hanya
mengenakan kaus singlet menatapnya dengan marah.
Soleh terus berbicara, tidak menyadari bahaya. Prajurit itu
dengan tenang mengangkat sebuah PISTOL hitam dan menodongkannya lurus ke wajah
Soleh.1 SUARA KLIK pengaman
pistol yang dilepas terdengar tajam.
Soleh diseret keluar oleh dua prajurit lain, masih meneriakkan
misinya yang tak dipahami siapa pun.
SCENE 6
EXT. PINGGIR JALAN
- MALAM
Soleh, tidak gentar, berhasil meyakinkan seorang BAPAK TUA untuk
meminjamkan "tergos" miliknya dengan pembicaraan kacau tentang
takdir.1
Ia terus berjalan, tawanya menggema di jalanan yang sepi.
Di sebuah tikungan gelap, sekelompok PREMAN menghentikannya.
Rasa tak terkalahkan Soleh membuncah. Ia merasa seperti seorang
ksatria.
Para preman tertawa. Soleh melayangkan pukulan pertama.
Pertarungan itu singkat dan brutal. Dari sudut pandang Soleh,
semuanya adalah kilatan gerakan yang membingungkan, lalu rasa sakit yang tajam
menembus kabut maniknya.
Layar menjadi HITAM saat pipinya membentur aspal yang dingin.1
SCENE 7
INT. SEL TAHANAN
POLISI - PAGI
Soleh terbangun. Bau pesing dan anyir menyeruak. Ia babak belur,
bingung, dan hancur di dalam sel yang kotor. Energi dewanya telah lenyap,
digantikan oleh kekosongan yang dingin dan rasa malu yang menghancurkan.1
Ia meringkuk di sudut, menangis dalam diam.
Pintu sel terbuka. Ayahnya berdiri di sana, wajahnya topeng
kelelahan, kelegaan, dan kengerian saat melihat kondisi putranya.1 Perjalanan pulang ke
Kuningan berlangsung dalam keheningan yang memilukan.
SCENE 8
INT. RUANG RUMAH
SAKIT - SIANG
Soleh duduk dengan lesu di sebuah ruangan, berhadapan dengan
seorang DOKTER JIWA yang bijaksana. Ia telah dirawat selama sebulan. Ini adalah
momen diagnosis resmi.1
Kata "Bipolar" menggantung di udara. Soleh hanya
menatap kosong. Kehidupan lamanya secara resmi telah berakhir. Ini adalah titik
awal perjuangannya.
SEQUENCE B: MENCIPTAKAN JANGKAR
SCENE 9
MONTAGE - MARATON
UNIVERSITAS (1988-1994)
Rangkaian ini memvisualisasikan perjuangan enam tahun Soleh di
IKIP Bandung dan bagaimana ia membangun "jangkar" atau mekanisme
kopingnya.1
Kita melihat potongan adegan yang saling bersahutan:
1.
PERJUANGAN:
○
Soleh di kelas
Statistik. Suara dosen menjadi dengungan jauh saat kabut depresi turun.
Angka-angka di papan tulis menari-nari tanpa makna.1
○
Soleh di perpustakaan,
gelisah. Ia harus menahan diri secara fisik untuk tidak menyela diskusi selama
fase hipomania, tangannya mencengkeram tepi meja.1
○
Di latar belakang
adegan-adegan ini, terlihat spanduk-spanduk "Normalisasi Kehidupan
Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK)", menciptakan ironi visual yang
kuat antara upaya negara untuk "menormalkan" kampus dan perjuangan
pribadi Soleh untuk menormalkan pikirannya sendiri.1
2.
JANGKAR:
○
Soleh di dojo karate,
seragam putihnya basah oleh keringat. Wajahnya adalah topeng konsentrasi saat
ia melakukan kata dengan presisi
sempurna.1
○
Soleh berenang di kolam
renang. Kamera berada di bawah air, menangkap keheningan dan kedamaian dari
gerakan ritmisnya.1
○
Soleh di kamar kosnya.
Saat energinya meluap, ia menyalurkannya ke melodi gitar yang cepat dan rumit.
Saat depresi datang, ia memainkan balada yang lembut dan melankolis.1
SCENE 10
INT. SMAN 23
BANDUNG - SIANG (1994)
Soleh, yang baru saja lulus, berdiri di sebuah ruang kelas yang
baru dan kosong di SMAN 23 Bandung. Bau cat masih segar. Ia memegang surat
pengangkatan PNS-nya.1
Ia menyentuh sebuah meja dengan tangannya. Bel sekolah berbunyi.
Suara itu tidak lagi memicu kecemasan, melainkan memberikan rasa keteraturan
dan tujuan.
Sebuah senyum kecil yang tulus terukir di wajahnya. Ia telah
menemukan sebuah ritme, sebuah pelabuhan.1
SEQUENCE C: PELABUHAN HATI
SCENE 11
EXT. RESEPSI
PERNIKAHAN - SIANG (1997)
Soleh tampak canggung dan enggan di sebuah resepsi pernikahan
yang ramai. Matanya menangkap sosok NISSA KHAIRUNISA (akhir 20-an), seorang
wanita yang bergerak dengan anggun dan senyum tulus, sibuk sebagai panitia.1
Ia mengumpulkan keberanian untuk mendekatinya. Percakapan mereka
mengalir dengan mudah.
Untuk pertama kalinya, kita melihat Soleh tersenyum lepas, tanpa
bayang-bayang penyakitnya.
SCENE 12
INT. KAFE, JALAN
BRAGA - SORE
Klimaks dari Babak I. Soleh dan Nissa sedang berkencan.
Suasananya hangat. Wajah Soleh menjadi serius. Tangannya sedikit gemetar.
Ia menceritakan semuanya. Tentang diagnosis bipolar, tentang
episode mania dan jurang depresi.1 Kamera tetap fokus pada wajah mereka, menangkap kerentanan di
wajah Soleh dan empati di wajah Nissa. Ia selesai berbicara, bersiap untuk
penolakan.
Nissa terdiam sejenak, menatapnya dalam-dalam. Kemudian, ia
mengulurkan tangan melintasi meja dan menggenggam tangan Soleh. Genggamannya
mantap dan hangat.
Rasa lega yang luar biasa membanjiri wajah Soleh. Ia menatap
tangan mereka yang tergenggam. Untuk pertama kalinya, ia terlihat benar-benar
aman. Ia telah menemukan pelabuhannya.
ACT II: PERJUANGAN GANDA
SEQUENCE D: BADAI YANG BARU
SCENE 13
MONTAGE -
KEBAHAGIAAN SEBUAH KELUARGA (1997-2005)
Sebuah montase yang hangat dan penuh sukacita, menunjukkan
tahun-tahun terbaik dalam hidup mereka.
●
Pernikahan mereka yang
sederhana namun khidmat.
●
Mereka pindah ke rumah
pertama mereka.
●
Nissa hamil.
●
Kelahiran PUTRA mereka
pada Hari Valentine, 14 Februari 2005.1
●
Potongan-potongan
kehidupan keluarga yang bahagia: Soleh mengajar, Nissa mengurus rumah, mereka
membesarkan putra mereka bersama. Visualnya cerah dan penuh cinta, membangun
pertaruhan emosional yang tinggi.
SCENE 14
INT. RUANG DOKTER,
RS HERMINA - SIANG
Kontras yang tajam dengan adegan sebelumnya. Ruangan itu dingin
dan klinis. Soleh dan Nissa duduk berdampingan, berpegangan tangan erat.
DOKTER berbicara dengan jargon medis yang terdengar asing:
"karsinoma," "stadium lanjut," "kemoterapi".1
Wajah mereka pucat dan terkejut. Suara dokter menjadi dengungan
yang sayup-sayup. Yang kita dengar hanyalah dering di telinga Soleh. Dunia
mereka hancur berkeping-keping.
SCENE 15
MONTAGE - SANG
PERAWAT
Sebuah montase yang realistis dan melelahkan, menunjukkan peran
Soleh yang terbalik. Ia kini adalah perawat, manajer krisis, dan pendamping
pejuang.1
●
Soleh mengantar Nissa ke
rumah sakit, wajah Nissa pucat dan lelah.
●
Soleh duduk berjam-jam
di ruang tunggu yang steril.
●
Soleh dengan teliti
mengatur puluhan botol pil di meja.
●
Larut malam, wajah Soleh
diterangi layar laptop saat ia membaca jurnal medis tentang kanker payudara.
●
Soleh dengan canggung
mencoba memasak makanan bergizi, mengikuti resep dengan saksama.
●
Soleh membantu Nissa
yang lemah untuk berjalan ke kamar mandi.
SEQUENCE E: UJIAN SANG PERAWAT
SCENE 16
INT. KAMAR MANDI -
MALAM
Soleh menemukan Nissa menangis diam-diam di depan cermin.1
Soleh mendekat dari belakang, memeluknya. Mereka menatap
bayangan mereka bersama di cermin.
Ini bukan sekadar penghiburan; ini adalah pendefinisian ulang
kecantikan, mengubah simbol penyakit menjadi simbol kekuatan.
SCENE 17
INT. KAMAR TIDUR -
MALAM
Adegan ini memvisualisasikan "perjuangan ganda" Soleh.1
Soleh sendirian di ruang tamu. Ia sangat lelah. Tanda-tanda
episode depresi mulai muncul: tatapan kosong, postur tubuh yang merosot.
Tangannya sedikit gemetar, bukan karena takut akan kondisi Nissa, tetapi karena
gejolak kimianya sendiri. Ia memejamkan mata, ingin menyerah pada kegelapan.
Dari kamar tidur, terdengar suara lemah Nissa memanggil namanya.
Mata Soleh terbuka. Pertarungan batin tergambar di wajahnya. Ia
menarik napas dalam-dalam, menekan perasaannya sendiri, dan memaksakan senyum
lembut di wajahnya.
Ia masuk ke kamar tidur, sikapnya kini tenang dan meyakinkan.
Kamera menyorot wajahnya saat ia menghibur Nissa, menunjukkan
betapa besar upaya yang dibutuhkannya. Cintanya pada Nissa menjadi penstabil
suasana hati terkuatnya, sebuah pilihan aktif yang membutuhkan kekuatan luar
biasa.1
SEQUENCE F: PERPISAHAN PANJANG
SCENE 18
INT. RUANG RUMAH
SAKIT - SIANG/MALAM
Hari-hari terakhir Nissa. Adegan-adegan ini sunyi dan intim.
Soleh tidak pernah meninggalkan sisinya. Ia membacakan cerita untuknya,
menyanyikan lagu-lagu favorit mereka dengan suara parau.1
PUTRA mereka (remaja) duduk di sisi lain tempat tidur,
menggenggam tangan ibunya, menunjukkan kedewasaan yang melampaui usianya.1 Mereka adalah satu
unit, menghadapi hal yang tak terhindarkan bersama.
SCENE 19
INT. RUANG RUMAH
SAKIT - MALAM (24 JANUARI 2021)
Titik Tengah film. Ruangan itu sunyi kecuali bunyi bip monitor.
Napas Nissa dangkal. Ia menatap Soleh, lalu putranya. Senyum tipis yang damai
menyentuh bibirnya.
Soleh mengangguk, air mata mengalir di wajahnya.
Nissa mengembuskan napas terakhirnya dan diam.1 Monitor menampilkan
garis lurus dengan nada panjang yang menusuk. Soleh tidak bergerak. Ia hanya
memeluk Nissa, wajahnya terbenam di bahunya. Kamera bertahan pada gambaran
kehilangan yang menghancurkan dan cinta yang mendalam ini.
ACT III: MENGARUNGI SAMUDRA BARU
SEQUENCE G: NAHKODA DAN AWAK KAPALNYA
SCENE 20
INT. DAPUR - MALAM
Beberapa bulan setelah kepergian Nissa. Rumah terasa sunyi dan
sedih. Soleh dan PUTRA-nya (akhir remaja) memutuskan untuk memasak rendang
andalan Nissa.1
Mereka canggung dan membuat dapur berantakan. Rendangnya gosong.
Mereka menatap panci yang berasap, lalu saling berpandangan.
Frustrasi mereka meleleh, dan mereka tertawa terbahak-bahak.
Tawa yang bercampur air mata, sebuah pelepasan ketegangan dan duka. Ini adalah
pertama kalinya mereka benar-benar tertawa sejak Nissa tiada.
SCENE 21
INT. RUANG TAMU -
SIANG
Soleh membantu putranya berkemas untuk kuliah di Universitas
Widyatama.1 Ia mengangkat sebuah foto Nissa dalam bingkai.
Mereka berpelukan. Soleh kini adalah satu-satunya nahkoda di
kapal keluarga mereka.
SEQUENCE H: TUJUAN BARU
SCENE 22
INT. RUANG KULIAH
UNIVERSITAS - SIANG
Soleh, kini berusia 50-an, duduk di ruang kuliah yang cerah dan
modern. Ia kembali menjadi mahasiswa, mengambil program Magister Manajemen
Sumber Daya Manusia.1
Ia dikelilingi oleh mahasiswa seumuran putranya. Namun, ia tidak
canggung. Ia terlibat aktif, membuat catatan, dan mengajukan pertanyaan yang
berbobot. Ia tampak bersemangat, didorong oleh tujuan baru.
Ini adalah tindakan agensi yang kuat: mengubah penderitaan
hidupnya menjadi bidang studi akademis, mengubah rasa sakit menjadi
kebijaksanaan.1
SEQUENCE I: MELODI KEHIDUPAN KINI
SCENE 23
MONTAGE - MOZAIK
KEHIDUPAN
Sebuah montase terakhir yang membangkitkan semangat, menunjukkan
kehidupan Soleh saat ini yang beragam namun harmonis.1
●
Soleh mengajar kelas
biologinya dengan penuh gairah.
●
Soleh belajar untuk
tesis Magisternya.
●
Soleh berenang dengan
ekspresi damai di wajahnya.
●
Soleh memainkan
gitarnya, sebuah melodi yang lembut dan penuh harapan.
●
Soleh di dapur, memasak
dengan ahli, foto Nissa terpajang di rak.
●
Soleh membuat video
TikTok konyol tentang memasak, menertawakan dirinya sendiri. Ia utuh.
SCENE 24
INT. RUANG KELAS -
SIANG (HARI INI)
Kita kembali ke adegan pembuka, melengkapi bingkai cerita.
Tatapan Soleh kembali pada Rina. Seluruh perjalanan panjang yang
baru saja kita saksikan terkandung di matanya. Ia memberinya senyum yang
bijaksana dan penuh pengertian itu.
Kamera perlahan-lahan MUNDUR. Kita mendengar suara Soleh
membacakan kutipan dari epilog novelnya, sebuah surat harapan dan solidaritas.
GAMBARAN TERAKHIR adalah Soleh, berdiri dengan percaya diri di
depan kelasnya. Seorang penyintas, seorang guru, seorang nahkoda yang telah
mengarungi badai dan menemukan jalannya.
FADE OUT.
Karya
yang dikutip
1.
Bipolar dan Cinta_Novel New_A5.pdf
No comments:
Post a Comment