Wednesday, July 30, 2025


 

Mengarungi Hidup: Skenario Adaptasi

 

 

ACT I: BADAI BERKUMPUL

 

 

SEQUENCE A: RETAKAN & KEJATUHAN

 

SCENE 1

INT. RUANG KELAS - SIANG (HARI INI - BINGKAI CERITA)

Udara di dalam kelas XI-8 terasa tebal dan hangat. Tiga bilah kipas angin di langit-langit berputar monoton, menjadi musik latar yang membosankan.

Di depan papan tulis, SOLEH (50-an), seorang guru biologi yang karismatik dan dihormati, berdiri dengan percaya diri. Ia adalah gambaran stabilitas. Ia baru saja menyelesaikan gambar siklus Krebs yang rumit.

Beberapa siswa di barisan depan menegakkan punggung, tertarik.

Di barisan ketiga, dekat jendela, RINA (16), seorang siswi dengan tatapan mata yang jernih dan analitis, mengangkat tangan dengan penuh keyakinan.1

Pertanyaan itu menusuk. Dengung kipas angin mendadak lenyap. Suara tawa dari koridor menjadi hening.

KAMERA PUSH IN ke wajah Soleh. Senyumnya yang percaya diri goyah sejenak. Ia terlempar ke masa lalu.

Tatapannya beralih ke jendela, melewati Rina, menatap lapangan sekolah yang bermandikan cahaya matahari.1

Soleh menarik napas dalam-dalam, membawa dirinya kembali ke masa kini. Ia menatap Rina dengan senyum yang lembut dan penuh pengertian.

Saat ia mengucapkan kata "perjalanan", kita DISSOLVE ke masa lalu.

SCENE 2

EXT. DESA DI KUNINGAN - SIANG (FLASHBACK - 1987)

Visual yang subur dan indah. Hamparan sawah hijau zamrud dengan latar belakang siluet agung Gunung Ciremai. Ini adalah dunia SOLEH MUDA (18), seorang pemuda yang cemerlang dan penuh semangat.

MONTAGE CEPAT:

     Soleh Muda memenangkan lomba cerdas cermat, piala diangkat tinggi-tinggi. ORANG TUANYA menatap dengan bangga dari kerumunan.

     Malam hari, teman-temannya bermain kelereng di bawah cahaya bulan. Soleh duduk di meja belajar kayu, ditemani lampu teplok yang berkedip, melahap buku pelajaran.1

     Ia berdiri di depan papan pengumuman kelulusan, namanya terpampang di urutan teratas. Ia adalah "sang juara dari kaki Ciremai," masa depannya tampak seperti "garis lurus yang menanjak".1

SCENE 3

INT. RUMAH SOLEH - MALAM

Pukul 2 pagi. Rumah gelap gulita, kecuali cahaya dari kamar Soleh.

AYAH (50-an) terbangun dan menemukan Soleh sedang menggambar dengan panik di atas kertas-kertas yang berserakan. Matanya liar, penuh energi yang tidak wajar. Bicaranya cepat dan meluap-luap.

IBU (50-an) masuk, wajahnya penuh kecemasan saat melihat putranya yang berbicara tanpa henti, melompat dari satu topik ke topik lain.1

Adegan berakhir dengan Ayah dan Ibu saling bertatapan cemas di belakang punggung Soleh. Ketakutan mereka terlihat jelas.

SCENE 4-6: ODYSSEY MANIK (SEBUAH RANGKAIAN KINETIK)

SCENE 4

EXT. JALAN MENUJU MAJALENGKA - SIANG

Kamera handheld dan energik mengikuti Soleh yang berjalan dengan langkah cepat dan mantap. Ia merasa seperti seorang nabi dalam misi suci. Ia menghentikan orang-orang asing di jalan, berbicara dengan cepat tentang "misi rahasia" dan "konspirasi besar".1 Orang-orang menatapnya dengan aneh dan mempercepat langkah.

SCENE 5

EXT. KOMPLEKS TENTARA, CIGASONG - SORE

Soleh melenggang dengan percaya diri melewati pos penjagaan sebuah kompleks perumahan tentara. Ia merasa misinya berhubungan dengan militer. Ia memilih satu rumah secara acak dan menggedor pintunya dengan keras.

Pintu terbuka. Seorang PRAJURIT bertubuh tegap dan hanya mengenakan kaus singlet menatapnya dengan marah.

Soleh terus berbicara, tidak menyadari bahaya. Prajurit itu dengan tenang mengangkat sebuah PISTOL hitam dan menodongkannya lurus ke wajah Soleh.1 SUARA KLIK pengaman pistol yang dilepas terdengar tajam.

Soleh diseret keluar oleh dua prajurit lain, masih meneriakkan misinya yang tak dipahami siapa pun.

SCENE 6

EXT. PINGGIR JALAN - MALAM

Soleh, tidak gentar, berhasil meyakinkan seorang BAPAK TUA untuk meminjamkan "tergos" miliknya dengan pembicaraan kacau tentang takdir.1

Ia terus berjalan, tawanya menggema di jalanan yang sepi.

Di sebuah tikungan gelap, sekelompok PREMAN menghentikannya.

Rasa tak terkalahkan Soleh membuncah. Ia merasa seperti seorang ksatria.

Para preman tertawa. Soleh melayangkan pukulan pertama.

Pertarungan itu singkat dan brutal. Dari sudut pandang Soleh, semuanya adalah kilatan gerakan yang membingungkan, lalu rasa sakit yang tajam menembus kabut maniknya.

Layar menjadi HITAM saat pipinya membentur aspal yang dingin.1

SCENE 7

INT. SEL TAHANAN POLISI - PAGI

Soleh terbangun. Bau pesing dan anyir menyeruak. Ia babak belur, bingung, dan hancur di dalam sel yang kotor. Energi dewanya telah lenyap, digantikan oleh kekosongan yang dingin dan rasa malu yang menghancurkan.1

Ia meringkuk di sudut, menangis dalam diam.

Pintu sel terbuka. Ayahnya berdiri di sana, wajahnya topeng kelelahan, kelegaan, dan kengerian saat melihat kondisi putranya.1 Perjalanan pulang ke Kuningan berlangsung dalam keheningan yang memilukan.

SCENE 8

INT. RUANG RUMAH SAKIT - SIANG

Soleh duduk dengan lesu di sebuah ruangan, berhadapan dengan seorang DOKTER JIWA yang bijaksana. Ia telah dirawat selama sebulan. Ini adalah momen diagnosis resmi.1

Kata "Bipolar" menggantung di udara. Soleh hanya menatap kosong. Kehidupan lamanya secara resmi telah berakhir. Ini adalah titik awal perjuangannya.

 

SEQUENCE B: MENCIPTAKAN JANGKAR

 

SCENE 9

MONTAGE - MARATON UNIVERSITAS (1988-1994)

Rangkaian ini memvisualisasikan perjuangan enam tahun Soleh di IKIP Bandung dan bagaimana ia membangun "jangkar" atau mekanisme kopingnya.1

Kita melihat potongan adegan yang saling bersahutan:

1.    PERJUANGAN:

     Soleh di kelas Statistik. Suara dosen menjadi dengungan jauh saat kabut depresi turun. Angka-angka di papan tulis menari-nari tanpa makna.1

     Soleh di perpustakaan, gelisah. Ia harus menahan diri secara fisik untuk tidak menyela diskusi selama fase hipomania, tangannya mencengkeram tepi meja.1

     Di latar belakang adegan-adegan ini, terlihat spanduk-spanduk "Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK)", menciptakan ironi visual yang kuat antara upaya negara untuk "menormalkan" kampus dan perjuangan pribadi Soleh untuk menormalkan pikirannya sendiri.1

2.    JANGKAR:

     Soleh di dojo karate, seragam putihnya basah oleh keringat. Wajahnya adalah topeng konsentrasi saat ia melakukan kata dengan presisi sempurna.1

     Soleh berenang di kolam renang. Kamera berada di bawah air, menangkap keheningan dan kedamaian dari gerakan ritmisnya.1

     Soleh di kamar kosnya. Saat energinya meluap, ia menyalurkannya ke melodi gitar yang cepat dan rumit. Saat depresi datang, ia memainkan balada yang lembut dan melankolis.1

SCENE 10

INT. SMAN 23 BANDUNG - SIANG (1994)

Soleh, yang baru saja lulus, berdiri di sebuah ruang kelas yang baru dan kosong di SMAN 23 Bandung. Bau cat masih segar. Ia memegang surat pengangkatan PNS-nya.1

Ia menyentuh sebuah meja dengan tangannya. Bel sekolah berbunyi. Suara itu tidak lagi memicu kecemasan, melainkan memberikan rasa keteraturan dan tujuan.

Sebuah senyum kecil yang tulus terukir di wajahnya. Ia telah menemukan sebuah ritme, sebuah pelabuhan.1

 

SEQUENCE C: PELABUHAN HATI

 

SCENE 11

EXT. RESEPSI PERNIKAHAN - SIANG (1997)

Soleh tampak canggung dan enggan di sebuah resepsi pernikahan yang ramai. Matanya menangkap sosok NISSA KHAIRUNISA (akhir 20-an), seorang wanita yang bergerak dengan anggun dan senyum tulus, sibuk sebagai panitia.1

Ia mengumpulkan keberanian untuk mendekatinya. Percakapan mereka mengalir dengan mudah.

Untuk pertama kalinya, kita melihat Soleh tersenyum lepas, tanpa bayang-bayang penyakitnya.

SCENE 12

INT. KAFE, JALAN BRAGA - SORE

Klimaks dari Babak I. Soleh dan Nissa sedang berkencan. Suasananya hangat. Wajah Soleh menjadi serius. Tangannya sedikit gemetar.

Ia menceritakan semuanya. Tentang diagnosis bipolar, tentang episode mania dan jurang depresi.1 Kamera tetap fokus pada wajah mereka, menangkap kerentanan di wajah Soleh dan empati di wajah Nissa. Ia selesai berbicara, bersiap untuk penolakan.

Nissa terdiam sejenak, menatapnya dalam-dalam. Kemudian, ia mengulurkan tangan melintasi meja dan menggenggam tangan Soleh. Genggamannya mantap dan hangat.

Rasa lega yang luar biasa membanjiri wajah Soleh. Ia menatap tangan mereka yang tergenggam. Untuk pertama kalinya, ia terlihat benar-benar aman. Ia telah menemukan pelabuhannya.

 

ACT II: PERJUANGAN GANDA

 

 

SEQUENCE D: BADAI YANG BARU

 

SCENE 13

MONTAGE - KEBAHAGIAAN SEBUAH KELUARGA (1997-2005)

Sebuah montase yang hangat dan penuh sukacita, menunjukkan tahun-tahun terbaik dalam hidup mereka.

     Pernikahan mereka yang sederhana namun khidmat.

     Mereka pindah ke rumah pertama mereka.

     Nissa hamil.

     Kelahiran PUTRA mereka pada Hari Valentine, 14 Februari 2005.1

     Potongan-potongan kehidupan keluarga yang bahagia: Soleh mengajar, Nissa mengurus rumah, mereka membesarkan putra mereka bersama. Visualnya cerah dan penuh cinta, membangun pertaruhan emosional yang tinggi.

SCENE 14

INT. RUANG DOKTER, RS HERMINA - SIANG

Kontras yang tajam dengan adegan sebelumnya. Ruangan itu dingin dan klinis. Soleh dan Nissa duduk berdampingan, berpegangan tangan erat.

DOKTER berbicara dengan jargon medis yang terdengar asing: "karsinoma," "stadium lanjut," "kemoterapi".1

Wajah mereka pucat dan terkejut. Suara dokter menjadi dengungan yang sayup-sayup. Yang kita dengar hanyalah dering di telinga Soleh. Dunia mereka hancur berkeping-keping.

SCENE 15

MONTAGE - SANG PERAWAT

Sebuah montase yang realistis dan melelahkan, menunjukkan peran Soleh yang terbalik. Ia kini adalah perawat, manajer krisis, dan pendamping pejuang.1

     Soleh mengantar Nissa ke rumah sakit, wajah Nissa pucat dan lelah.

     Soleh duduk berjam-jam di ruang tunggu yang steril.

     Soleh dengan teliti mengatur puluhan botol pil di meja.

     Larut malam, wajah Soleh diterangi layar laptop saat ia membaca jurnal medis tentang kanker payudara.

     Soleh dengan canggung mencoba memasak makanan bergizi, mengikuti resep dengan saksama.

     Soleh membantu Nissa yang lemah untuk berjalan ke kamar mandi.

 

SEQUENCE E: UJIAN SANG PERAWAT

 

SCENE 16

INT. KAMAR MANDI - MALAM

Soleh menemukan Nissa menangis diam-diam di depan cermin.1

Soleh mendekat dari belakang, memeluknya. Mereka menatap bayangan mereka bersama di cermin.

Ini bukan sekadar penghiburan; ini adalah pendefinisian ulang kecantikan, mengubah simbol penyakit menjadi simbol kekuatan.

SCENE 17

INT. KAMAR TIDUR - MALAM

Adegan ini memvisualisasikan "perjuangan ganda" Soleh.1

Soleh sendirian di ruang tamu. Ia sangat lelah. Tanda-tanda episode depresi mulai muncul: tatapan kosong, postur tubuh yang merosot. Tangannya sedikit gemetar, bukan karena takut akan kondisi Nissa, tetapi karena gejolak kimianya sendiri. Ia memejamkan mata, ingin menyerah pada kegelapan.

Dari kamar tidur, terdengar suara lemah Nissa memanggil namanya.

Mata Soleh terbuka. Pertarungan batin tergambar di wajahnya. Ia menarik napas dalam-dalam, menekan perasaannya sendiri, dan memaksakan senyum lembut di wajahnya.

Ia masuk ke kamar tidur, sikapnya kini tenang dan meyakinkan.

Kamera menyorot wajahnya saat ia menghibur Nissa, menunjukkan betapa besar upaya yang dibutuhkannya. Cintanya pada Nissa menjadi penstabil suasana hati terkuatnya, sebuah pilihan aktif yang membutuhkan kekuatan luar biasa.1

 

SEQUENCE F: PERPISAHAN PANJANG

 

SCENE 18

INT. RUANG RUMAH SAKIT - SIANG/MALAM

Hari-hari terakhir Nissa. Adegan-adegan ini sunyi dan intim. Soleh tidak pernah meninggalkan sisinya. Ia membacakan cerita untuknya, menyanyikan lagu-lagu favorit mereka dengan suara parau.1

PUTRA mereka (remaja) duduk di sisi lain tempat tidur, menggenggam tangan ibunya, menunjukkan kedewasaan yang melampaui usianya.1 Mereka adalah satu unit, menghadapi hal yang tak terhindarkan bersama.

SCENE 19

INT. RUANG RUMAH SAKIT - MALAM (24 JANUARI 2021)

Titik Tengah film. Ruangan itu sunyi kecuali bunyi bip monitor. Napas Nissa dangkal. Ia menatap Soleh, lalu putranya. Senyum tipis yang damai menyentuh bibirnya.

Soleh mengangguk, air mata mengalir di wajahnya.

Nissa mengembuskan napas terakhirnya dan diam.1 Monitor menampilkan garis lurus dengan nada panjang yang menusuk. Soleh tidak bergerak. Ia hanya memeluk Nissa, wajahnya terbenam di bahunya. Kamera bertahan pada gambaran kehilangan yang menghancurkan dan cinta yang mendalam ini.

 

ACT III: MENGARUNGI SAMUDRA BARU

 

 

SEQUENCE G: NAHKODA DAN AWAK KAPALNYA

 

SCENE 20

INT. DAPUR - MALAM

Beberapa bulan setelah kepergian Nissa. Rumah terasa sunyi dan sedih. Soleh dan PUTRA-nya (akhir remaja) memutuskan untuk memasak rendang andalan Nissa.1

Mereka canggung dan membuat dapur berantakan. Rendangnya gosong. Mereka menatap panci yang berasap, lalu saling berpandangan.

Frustrasi mereka meleleh, dan mereka tertawa terbahak-bahak. Tawa yang bercampur air mata, sebuah pelepasan ketegangan dan duka. Ini adalah pertama kalinya mereka benar-benar tertawa sejak Nissa tiada.

SCENE 21

INT. RUANG TAMU - SIANG

Soleh membantu putranya berkemas untuk kuliah di Universitas Widyatama.1 Ia mengangkat sebuah foto Nissa dalam bingkai.

Mereka berpelukan. Soleh kini adalah satu-satunya nahkoda di kapal keluarga mereka.

 

SEQUENCE H: TUJUAN BARU

 

SCENE 22

INT. RUANG KULIAH UNIVERSITAS - SIANG

Soleh, kini berusia 50-an, duduk di ruang kuliah yang cerah dan modern. Ia kembali menjadi mahasiswa, mengambil program Magister Manajemen Sumber Daya Manusia.1

Ia dikelilingi oleh mahasiswa seumuran putranya. Namun, ia tidak canggung. Ia terlibat aktif, membuat catatan, dan mengajukan pertanyaan yang berbobot. Ia tampak bersemangat, didorong oleh tujuan baru.

Ini adalah tindakan agensi yang kuat: mengubah penderitaan hidupnya menjadi bidang studi akademis, mengubah rasa sakit menjadi kebijaksanaan.1

 

SEQUENCE I: MELODI KEHIDUPAN KINI

 

SCENE 23

MONTAGE - MOZAIK KEHIDUPAN

Sebuah montase terakhir yang membangkitkan semangat, menunjukkan kehidupan Soleh saat ini yang beragam namun harmonis.1

     Soleh mengajar kelas biologinya dengan penuh gairah.

     Soleh belajar untuk tesis Magisternya.

     Soleh berenang dengan ekspresi damai di wajahnya.

     Soleh memainkan gitarnya, sebuah melodi yang lembut dan penuh harapan.

     Soleh di dapur, memasak dengan ahli, foto Nissa terpajang di rak.

     Soleh membuat video TikTok konyol tentang memasak, menertawakan dirinya sendiri. Ia utuh.

SCENE 24

INT. RUANG KELAS - SIANG (HARI INI)

Kita kembali ke adegan pembuka, melengkapi bingkai cerita.

Tatapan Soleh kembali pada Rina. Seluruh perjalanan panjang yang baru saja kita saksikan terkandung di matanya. Ia memberinya senyum yang bijaksana dan penuh pengertian itu.

Kamera perlahan-lahan MUNDUR. Kita mendengar suara Soleh membacakan kutipan dari epilog novelnya, sebuah surat harapan dan solidaritas.

GAMBARAN TERAKHIR adalah Soleh, berdiri dengan percaya diri di depan kelasnya. Seorang penyintas, seorang guru, seorang nahkoda yang telah mengarungi badai dan menemukan jalannya.

FADE OUT.

Karya yang dikutip

1.    Bipolar dan Cinta_Novel New_A5.pdf

 

No comments: