Wednesday, July 30, 2025

 



BIPOLAR DAN CINTA

Skenario Film

Berdasarkan Novel: "Mengarungi Hidup dengan Bipolar dan Cinta Abadi" oleh Suyono

LOGLINE: Seorang guru biologi yang brilian harus menavigasi kehidupan dengan gangguan bipolar, menemukan jangkar dalam cinta, dan menghadapi ujian terberat ketika istri yang menjadi penopangnya divonis penyakit mematikan.

KARAKTER UTAMA:

     SOLEH (17, 20-an, 50-an): Cerdas, penuh semangat, namun rapuh. Seorang pejuang yang menghabiskan hidupnya mencari keseimbangan antara puncak mania dan jurang depresi.

     NISSA (20-an, 40-an): Cantik, berhati lembut, dan memiliki kekuatan batin yang luar biasa. Dia adalah pelabuhan dan jangkar bagi Soleh.

     RINA (16): Siswi cerdas dan kritis, yang pertanyaannya menjadi pemicu seluruh cerita.

FADE IN:

SCENE 1

INT. RUANG KELAS XI-8 - PAGI

Pagi hari di sebuah kelas SMA negeri yang khas. Udara terasa tebal dan hangat. Tiga bilah kipas angin di langit-langit berputar monoton, menghasilkan DENGUNGAN lirih.

SOLEH (50-an), seorang guru dengan penampilan rapi dan sorot mata yang bijaksana, berdiri di depan papan tulis putih. Di papan itu tergambar siklus Krebs yang rumit.

<center>SOLEH</center>

> Jadi, coba bayangkan tubuh kita ini seperti sebuah rumah pintar yang canggih. Rumah yang punya termostat, pengatur kelembapan, dan sistem keamanan sendiri.

Beberapa siswa di barisan depan tampak tertarik.

<center>SOLEH</center>

> (Mengetuk papan tulis dengan spidol)

> Rumah ini harus selalu menjaga suhunya di angka 25 derajat Celcius, tidak peduli di luar sana sedang ada badai salju atau gelombang panas. Itulah, dalam esensinya, homeostasis.

Di barisan ketiga, dekat jendela, RINA (16), seorang siswi dengan mata yang jernih dan penuh rasa ingin tahu, mengangkat tangan.

<center>RINA</center>

> Pak Soleh. Kalau homeostasis itu menjaga keseimbangan kimia di tubuh... lalu apa yang terjadi kalau keseimbangan kimia di otak yang terganggu, Pak? Maksud saya, neurotransmiter. Apakah tubuh juga bisa memperbaikinya secara otomatis?

Pertanyaan itu menggantung di udara.

CLOSE UP - Wajah Soleh. Senyumnya sedikit memudar. Suara dengung kipas angin MENGHILANG. Suara tawa siswa dari koridor menjadi SUNYI.

Mata Soleh menerawang ke luar jendela, melewati Rina. Pandangannya kosong.

<center>SOLEH (V.O.)</center>

> Pertanyaan itu. Begitu tajam, begitu polos... dan begitu menusuk. Pertanyaan itu adalah gema dari seluruh hidupku.

FLASHBACK TO:

SCENE 2

EXT. KAKI GUNUNG CIREMAI, KUNINGAN - 1985 - SIANG

Langit biru cerah. Hamparan sawah hijau zamrud.

SOLEH MUDA (17) yang kurus namun penuh percaya diri, berlari kecil sambil memegang sebuah piala. Senyumnya merekah bangga. Di kejauhan, ORANG TUA-nya menatap dengan penuh haru dan harapan.

<center>SOLEH (V.O.)</center>

> Aku adalah sang juara dari kaki Ciremai. Aku percaya, jika aku berusaha lebih keras dari yang lain, pintu kesuksesan pasti akan terbuka lebar. Aku belum tahu, badai terbesar dalam hidupku tidak datang dari langit... melainkan dari dalam kepalaku sendiri.

SCENE 3

INT. RUMAH SOLEH - 1987 - DINI HARI

Rumah sederhana. Lampu teplok berkelip.

Soleh (19), matanya menyala dengan energi yang aneh, tidak tidur. Dia berbicara dengan sangat cepat kepada AYAH-nya yang mengantuk.

<center>SOLEH MUDA</center>

> ...dan dengan sistem irigasi ini, Pak, kita bisa lipat gandakan hasil panen seluruh desa! Kalkulasinya sudah saya hitung, lihat! Ini tidak mungkin gagal!

Dia menyodorkan kertas penuh coretan rumus yang rumit. Ayahnya hanya menatap bingung dan khawatir.

MONTAGE - EPISODE MANIA PERTAMA

A. Soleh menata ulang seluruh perabotan rumah pada pukul 3 pagi. Gerakannya cepat dan kompulsif.

B. Dia berbicara tanpa henti kepada teman-temannya, melompat dari satu ide ke ide lain. Teman-temannya saling berpandangan, tidak mengerti.

C. Soleh berdiri di depan cermin, menatap dirinya dengan senyum superior. Dia merasa tak terkalahkan.

<center>SOLEH (V.O.)</center>

> Aku merasa istimewa. Berbakat. Kuat. Seolah ada kekuatan dewa yang merasukiku. Fase ini, yang kelak kuketahui sebagai mania, adalah euforia yang paling manis... sekaligus paling menakutkan.

SCENE 4

EXT. JALAN RAYA - PAGI

Soleh berjalan kaki dengan langkah cepat dan mantap. Tanpa pamit, tanpa tujuan. Matanya liar, memindai segalanya seolah mencari pertanda.

<center>SOLEH (V.O.)</center>

> Energi di dalam diriku mencapai titik didih. Aku harus pergi. Ke mana? Tidak penting. Yang penting adalah bergerak.

SCENE 5

EXT. KOMPLEKS TENTARA, CIGASONG - SORE

Soleh, dengan penampilan acak-acakan, melenggang masuk ke kompleks militer. Dia mengetuk pintu sebuah rumah dengan keras.

Seorang PRIA BERTUBUH TEGAP membuka pintu. Wajahnya kesal.

<center>SOLEH MUDA</center>

> Permisi! Ada pesan penting untuk komandan! Ini menyangkut keamanan negara!

Pria itu tanpa kata menodongkan sebuah PISTOL hitam ke wajah Soleh.

<center>PRIA BERTUBUH TEGAP</center>

> Pergi. Atau kepala kau pecah di sini.

Soleh tidak takut, hanya frustrasi. Dua tentara lain datang dan MENYERETNYA keluar dari kompleks.

SCENE 6

EXT. JALAN GELAP - MALAM

Soleh, dengan tawa manik, mengayuh sebuah tergos yang baru "dipinjamnya".

Sekelompok PREMAN (5 orang) menghentikannya.

<center>PREMAN 1</center>

> Wah, wah, ada pembalap malam.

<center>SOLEH MUDA</center>

> (Merasa tak terkalahkan)

> Minggir kalian! Jangan halangi jalan takdir!

Soleh melayangkan pukulan.

PERKELAHIAN singkat dan brutal. Soleh dihajar habis-habisan.

P.O.V SOLEH - Pandangannya menggelap saat pipinya membentur aspal yang dingin.

SCENE 7

INT. SEL TAHANAN POLISI - PAGI

Soleh terbangun. Babak belur, kotor, dan hancur. Jeruji besi di hadapannya.

Energi dewanya telah lenyap. Digantikan kekosongan, kebingungan, dan rasa malu yang menghancurkan. Dia meringkuk di sudut, menangis dalam diam.

Pintu sel terbuka. Wajah AYAH dan KELUARGA-nya muncul, tampak cemas dan ngeri melihat kondisinya.

SCENE 8

INT. RUANG KONSULTASI DOKTER JIWA - SIANG

Soleh duduk di hadapan seorang PSIKIATER tua yang bijaksana. Ini adalah pertemuan pertamanya.

<center>PSIKIATER</center>

> Apa yang kamu rasakan, Soleh, ayunan suasana hati yang ekstrem ini... punya nama. Gangguan Bipolar.

Kata "Bipolar" menggema di ruangan itu.

<center>PSIKIATER</center>

> Obat ini akan membantu menstabilkan fondasi rumahmu. Tapi kamulah yang harus membangun dinding dan atapnya.

SCENE 9

MONTAGE - MEMBANGUN JANGKAR (1988 - 1994)

A. IKIP BANDUNG: Soleh di kelas, berjuang. Satu waktu dia tampak lesu dan kosong (depresi). Di waktu lain, dia gelisah dan harus menahan diri untuk tidak menyela dosen (hipomania).

B. DOJO KARATE: Soleh berlatih karate. Gerakannya presisi. Teriakannya (kiai) penuh tenaga. Disiplin fisik yang menempa mental.

C. KOLAM RENANG: Soleh berenang dengan ritme yang tenang. Gerakan di dalam air tampak meditatif.

D. KAMAR KOS: Soleh memetik gitar, menyalurkan gejolak emosinya menjadi melodi. Kadang cepat dan energik, kadang lambat dan melankolis.

<center>SOLEH (V.O.)</center>

> Aku belajar membangun jangkar-jangkar untuk menahanku. Karate untuk disiplin. Berenang untuk ketenangan. Musik untuk menyalurkan apa yang tak bisa terucap. Dan obat sebagai fondasi.

SCENE 10

INT. RESEPSI PERNIKAHAN - 1997 - MALAM

Soleh (akhir 20-an), tampak canggung di tengah keramaian.

Matanya kemudian terpaku pada satu sosok. NISSA (20-an), cantik, anggun, dengan senyum tulus. Dia bergerak di antara tamu sebagai panitia.

SLOW MOTION - Nissa tertawa, tidak menyadari tatapan Soleh. Bagi Soleh, seluruh ruangan menjadi buram kecuali Nissa.

SCENE 11

INT. KAFE, JALAN BRAGA - SORE

Soleh dan Nissa duduk berhadapan. Mereka sudah beberapa kali bertemu. Soleh tampak gugup.

<center>SOLEH</center>

> Nissa... ada sesuatu yang harus kamu tahu tentang aku.

Jantungnya berdebar kencang. Dia menceritakan semuanya. Tentang bipolar. Tentang episode mania dan depresi. Dia selesai bicara, lalu terdiam, menunggu reaksi Nissa.

Nissa menatapnya dalam-dalam. Lalu dia mengulurkan tangan, menggenggam tangan Soleh di atas meja.

<center>NISSA</center>

> Terima kasih sudah percaya padaku, Soleh. Bagiku, itu tidak mengubah apa pun. Itu hanya bagian dari dirimu. Kita hadapi ini bersama-sama.

Air mata kelegaan menggenang di mata Soleh. Untuk pertama kalinya, dia merasa diterima seutuhnya.

MONTAGE - CINTA ABADI

A. Foto-foto pernikahan Soleh dan Nissa. Penuh tawa dan kebahagiaan.

B. Soleh mengalami episode hipomania, energinya meluap. Nissa dengan lembut memeluknya dari belakang. "Sayang, buminya di sini," bisiknya.

C. Soleh tenggelam dalam depresi, duduk diam di sofa. Nissa duduk di sampingnya, tidak berkata apa-apa, hanya meletakkan kepalanya di bahu Soleh. Kehadirannya menjadi sauh.

D. RUMAH SAKIT, 14 FEBRUARI 2005: Soleh menggendong BAYI laki-lakinya yang baru lahir. Nissa tersenyum bahagia dari ranjang rumah sakit. Keluarga kecil mereka lengkap.

<center>SOLEH (V.O.)</center>

> Nissa adalah pelabuhan terindahku. Dia adalah penyeimbangku. Bersamanya, aku merasakan kedamaian yang selama ini hanya bisa kuimpikan. Aku tidak tahu, pelabuhan ini akan diuji oleh gelombang paling dahsyat.

SCENE 12

INT. RUANG KONSULTASI DOKTER - SIANG

Soleh dan Nissa (kini 40-an) duduk berhadapan dengan seorang DOKTER ONKOLOGI. Ruangan terasa dingin dan steril.

<center>DOKTER ONKOLOGI</center>

> Hasil biopsinya sudah keluar. Ini Karsinoma. Kanker payudara stadium lanjut. Kita harus segera memulai kemoterapi.

Dunia Soleh dan Nissa runtuh. CLOSE UP pada tangan mereka yang saling menggenggam erat, seolah menjadi satu-satunya hal nyata di dunia.

SCENE 13

MONTAGE - PERJUANGAN MELAWAN KANKER

A. Soleh dengan sabar menyuapi Nissa yang lemah di tempat tidur.

B. Soleh menemani Nissa selama sesi kemoterapi. Dia memegang kantong muntah, mengelap keringat di dahi Nissa, membisikkan kata-kata semangat.

C. Malam hari, Soleh terjaga, meneliti tentang kanker di laptopnya sementara Nissa terlelap.

D. Soleh menemukan Nissa menangis di depan cermin, menatap kepalanya yang botak. Soleh memeluknya dari belakang.

<center>SOLEH</center>

> (Berbisik di telinga Nissa)

> Bagiku, kamu tidak pernah lebih cantik dari saat ini. Karena sekarang aku bisa melihat dengan jelas betapa kuatnya dirimu.

E. Soleh merasakan kabut depresi mulai datang padanya. Dia menatap cermin dengan tatapan kosong. Terdengar suara lemah Nissa memanggilnya. Soleh menarik napas dalam, "memakai" senyumnya, dan berjalan ke kamar Nissa.

<center>SOLEH (V.O.)</center>

> Perjuanganku untuk tetap sehat bukan lagi hanya untuk diriku sendiri. Ini untuknya. Aku harus stabil agar bisa menjadi sandarannya. Aku harus kuat agar bisa mengangkatnya saat ia jatuh.

 

 

SCENE 14

INT. KAMAR RUMAH SAKIT HERMINA - 24 JANUARI 2021 - MALAM

Nissa terbaring lemah di ranjang. Sangat kurus. Monitor EKG berbunyi PELAN dan RITMIS.

Soleh duduk di sisinya, memegang tangannya. PUTRA mereka (16) berdiri di sisi lain, menggenggam tangan ibunya.

<center>SOLEH</center>

> (Suara parau)

> Ingat waktu kita pertama kali ketemu di nikahan teman? Kamu pakai baju biru...

Soleh terus bercerita, suaranya bergetar.

Nissa menatap Soleh, lalu putranya. Sebuah senyum lemah terukir di bibirnya. Matanya perlahan terpejam.

Bunyi monitor EKG berubah menjadi GARIS LURUS dengan SUARA PANJANG yang memekakkan telinga.

Soleh menunduk, mencium kening Nissa. Air matanya jatuh. Dia memeluk jasad istrinya. Hancur.

SCENE 15

INT. RUANG KELUARGA - MALAM (BEBERAPA BULAN KEMUDIAN)

Rumah terasa kosong. Soleh dan PUTRA-nya mencoba memasak rendang, resep andalan Nissa. Dagingnya gosong, dapur berasap.

Mereka saling pandang, lalu tertawa getir di tengah air mata. Momen kecil yang menyatukan mereka dalam duka.

SCENE 16

EXT. KAMPUS UNIVERSITAS WIDYATAMA - SEKARANG - SIANG

Soleh (50-an), berjalan di antara mahasiswa yang jauh lebih muda. Dia membawa tas ransel, kembali menjadi mahasiswa program Magister. Dia tampak bersemangat, menemukan tujuan baru.

<center>SOLEH (V.O.)</center>

> Aku harus terus berlayar. Bukan hanya untuk diriku, tapi untuk melanjutkan warisan cintanya.

BACK TO PRESENT:

SCENE 17

INT. RUANG KELAS XI-8 - PAGI

Kita kembali ke wajah Soleh. Seluruh kilas balik tadi hanya berlangsung beberapa detik di dalam benaknya.

Dia menatap Rina. Senyumnya kini penuh dengan kehangatan, kebijaksanaan, dan bekas luka yang telah sembuh.

<center>SOLEH</center>

> Itu pertanyaan yang sangat bagus, Rina. Dan jawabannya... rumit. Terkadang, tubuh butuh bantuan dari luar untuk menemukan kembali keseimbangannya.

Dia berhenti sejenak, menatap seluruh kelas.

<center>SOLEH</center>

> Dan itu... adalah sebuah perjalanan tersendiri.

Soleh tersenyum, siap untuk berbagi ilmunya, yang tidak hanya berasal dari buku teks, tetapi dari universitas kehidupan.

FINAL SHOT:

Soleh menatap ke luar jendela. Di pantulan kaca, samar-samar kita bisa melihat bayangan Nissa tersenyum di sampingnya, sebelum perlahan memudar. Soleh balas tersenyum. Damai.

FADE OUT.


No comments: