BIPOLAR DAN CINTA
Skenario Film
Berdasarkan Novel:
"Mengarungi Hidup dengan Bipolar dan Cinta Abadi" oleh Suyono
LOGLINE: Seorang guru biologi yang brilian harus menavigasi kehidupan
dengan gangguan bipolar, menemukan jangkar dalam cinta, dan menghadapi ujian
terberat ketika istri yang menjadi penopangnya divonis penyakit mematikan.
KARAKTER UTAMA:
●
SOLEH (17, 20-an, 50-an): Cerdas, penuh semangat,
namun rapuh. Seorang pejuang yang menghabiskan hidupnya mencari keseimbangan
antara puncak mania dan jurang depresi.
●
NISSA (20-an, 40-an): Cantik, berhati lembut,
dan memiliki kekuatan batin yang luar biasa. Dia adalah pelabuhan dan jangkar
bagi Soleh.
●
RINA (16): Siswi cerdas dan
kritis, yang pertanyaannya menjadi pemicu seluruh cerita.
FADE IN:
SCENE 1
INT. RUANG KELAS XI-8 -
PAGI
Pagi hari di sebuah kelas SMA negeri yang khas. Udara terasa
tebal dan hangat. Tiga bilah kipas angin di langit-langit berputar monoton,
menghasilkan DENGUNGAN lirih.
SOLEH (50-an), seorang guru dengan penampilan rapi dan sorot
mata yang bijaksana, berdiri di depan papan tulis putih. Di papan itu tergambar
siklus Krebs yang rumit.
<center>SOLEH</center>
> Jadi, coba
bayangkan tubuh kita ini seperti sebuah rumah pintar yang canggih. Rumah yang
punya termostat, pengatur kelembapan, dan sistem keamanan sendiri.
Beberapa siswa di barisan depan tampak tertarik.
<center>SOLEH</center>
> (Mengetuk
papan tulis dengan spidol)
> Rumah ini
harus selalu menjaga suhunya di angka 25 derajat Celcius, tidak peduli di luar
sana sedang ada badai salju atau gelombang panas. Itulah, dalam esensinya,
homeostasis.
Di barisan ketiga, dekat jendela, RINA (16), seorang siswi
dengan mata yang jernih dan penuh rasa ingin tahu, mengangkat tangan.
<center>RINA</center>
> Pak Soleh.
Kalau homeostasis itu menjaga keseimbangan kimia di tubuh... lalu apa yang
terjadi kalau keseimbangan kimia di otak yang terganggu, Pak? Maksud saya,
neurotransmiter. Apakah tubuh juga bisa memperbaikinya secara otomatis?
Pertanyaan itu menggantung di udara.
CLOSE UP - Wajah Soleh. Senyumnya sedikit memudar. Suara dengung
kipas angin MENGHILANG. Suara tawa siswa dari koridor menjadi SUNYI.
Mata Soleh menerawang ke luar jendela, melewati Rina.
Pandangannya kosong.
<center>SOLEH
(V.O.)</center>
> Pertanyaan
itu. Begitu tajam, begitu polos... dan begitu menusuk. Pertanyaan itu adalah
gema dari seluruh hidupku.
FLASHBACK TO:
SCENE 2
EXT. KAKI GUNUNG
CIREMAI, KUNINGAN - 1985 - SIANG
Langit biru cerah. Hamparan sawah hijau zamrud.
SOLEH MUDA (17) yang kurus namun penuh percaya diri, berlari
kecil sambil memegang sebuah piala. Senyumnya merekah bangga. Di kejauhan,
ORANG TUA-nya menatap dengan penuh haru dan harapan.
<center>SOLEH
(V.O.)</center>
> Aku adalah
sang juara dari kaki Ciremai. Aku percaya, jika aku berusaha lebih keras dari
yang lain, pintu kesuksesan pasti akan terbuka lebar. Aku belum tahu, badai
terbesar dalam hidupku tidak datang dari langit... melainkan dari dalam
kepalaku sendiri.
SCENE 3
INT. RUMAH SOLEH - 1987
- DINI HARI
Rumah sederhana. Lampu teplok berkelip.
Soleh (19), matanya menyala dengan energi yang aneh, tidak
tidur. Dia berbicara dengan sangat cepat kepada AYAH-nya yang mengantuk.
<center>SOLEH
MUDA</center>
> ...dan dengan
sistem irigasi ini, Pak, kita bisa lipat gandakan hasil panen seluruh desa!
Kalkulasinya sudah saya hitung, lihat! Ini tidak mungkin gagal!
Dia menyodorkan kertas penuh coretan rumus yang rumit. Ayahnya
hanya menatap bingung dan khawatir.
MONTAGE - EPISODE MANIA
PERTAMA
A. Soleh menata ulang seluruh perabotan rumah pada pukul 3 pagi.
Gerakannya cepat dan kompulsif.
B. Dia berbicara tanpa henti kepada teman-temannya, melompat
dari satu ide ke ide lain. Teman-temannya saling berpandangan, tidak mengerti.
C. Soleh berdiri di depan cermin, menatap dirinya dengan senyum
superior. Dia merasa tak terkalahkan.
<center>SOLEH
(V.O.)</center>
> Aku merasa
istimewa. Berbakat. Kuat. Seolah ada kekuatan dewa yang merasukiku. Fase ini,
yang kelak kuketahui sebagai mania, adalah euforia yang paling manis...
sekaligus paling menakutkan.
SCENE 4
EXT. JALAN RAYA - PAGI
Soleh berjalan kaki dengan langkah cepat dan mantap. Tanpa
pamit, tanpa tujuan. Matanya liar, memindai segalanya seolah mencari pertanda.
<center>SOLEH
(V.O.)</center>
> Energi di
dalam diriku mencapai titik didih. Aku harus pergi. Ke mana? Tidak penting.
Yang penting adalah bergerak.
SCENE 5
EXT. KOMPLEKS TENTARA,
CIGASONG - SORE
Soleh, dengan penampilan acak-acakan, melenggang masuk ke
kompleks militer. Dia mengetuk pintu sebuah rumah dengan keras.
Seorang PRIA BERTUBUH TEGAP membuka pintu. Wajahnya kesal.
<center>SOLEH
MUDA</center>
> Permisi! Ada
pesan penting untuk komandan! Ini menyangkut keamanan negara!
Pria itu tanpa kata menodongkan sebuah PISTOL hitam ke wajah
Soleh.
<center>PRIA
BERTUBUH TEGAP</center>
> Pergi. Atau
kepala kau pecah di sini.
Soleh tidak takut, hanya frustrasi. Dua tentara lain datang dan
MENYERETNYA keluar dari kompleks.
SCENE 6
EXT. JALAN GELAP - MALAM
Soleh, dengan tawa manik, mengayuh sebuah tergos yang baru "dipinjamnya".
Sekelompok PREMAN (5 orang) menghentikannya.
<center>PREMAN
1</center>
> Wah, wah, ada
pembalap malam.
<center>SOLEH
MUDA</center>
> (Merasa tak
terkalahkan)
> Minggir
kalian! Jangan halangi jalan takdir!
Soleh melayangkan pukulan.
PERKELAHIAN singkat dan brutal. Soleh dihajar habis-habisan.
P.O.V SOLEH - Pandangannya menggelap saat pipinya membentur
aspal yang dingin.
SCENE 7
INT. SEL TAHANAN POLISI
- PAGI
Soleh terbangun. Babak belur, kotor, dan hancur. Jeruji besi di
hadapannya.
Energi dewanya telah lenyap. Digantikan kekosongan, kebingungan,
dan rasa malu yang menghancurkan. Dia meringkuk di sudut, menangis dalam diam.
Pintu sel terbuka. Wajah AYAH dan KELUARGA-nya muncul, tampak
cemas dan ngeri melihat kondisinya.
SCENE 8
INT. RUANG KONSULTASI
DOKTER JIWA - SIANG
Soleh duduk di hadapan seorang PSIKIATER tua yang bijaksana. Ini
adalah pertemuan pertamanya.
<center>PSIKIATER</center>
> Apa yang kamu
rasakan, Soleh, ayunan suasana hati yang ekstrem ini... punya nama. Gangguan
Bipolar.
Kata "Bipolar" menggema di ruangan itu.
<center>PSIKIATER</center>
> Obat ini akan
membantu menstabilkan fondasi rumahmu. Tapi kamulah yang harus membangun
dinding dan atapnya.
SCENE 9
MONTAGE - MEMBANGUN
JANGKAR (1988 - 1994)
A. IKIP BANDUNG:
Soleh di kelas, berjuang. Satu waktu dia tampak lesu dan kosong (depresi). Di
waktu lain, dia gelisah dan harus menahan diri untuk tidak menyela dosen
(hipomania).
B. DOJO KARATE: Soleh
berlatih karate. Gerakannya presisi. Teriakannya (kiai) penuh tenaga. Disiplin
fisik yang menempa mental.
C. KOLAM RENANG:
Soleh berenang dengan ritme yang tenang. Gerakan di dalam air tampak meditatif.
D. KAMAR KOS: Soleh
memetik gitar, menyalurkan gejolak emosinya menjadi melodi. Kadang cepat dan
energik, kadang lambat dan melankolis.
<center>SOLEH
(V.O.)</center>
> Aku belajar
membangun jangkar-jangkar untuk menahanku. Karate untuk disiplin. Berenang
untuk ketenangan. Musik untuk menyalurkan apa yang tak bisa terucap. Dan obat
sebagai fondasi.
SCENE 10
INT. RESEPSI PERNIKAHAN
- 1997 - MALAM
Soleh (akhir 20-an), tampak canggung di tengah keramaian.
Matanya kemudian terpaku pada satu sosok. NISSA (20-an), cantik,
anggun, dengan senyum tulus. Dia bergerak di antara tamu sebagai panitia.
SLOW MOTION - Nissa tertawa, tidak menyadari tatapan Soleh. Bagi
Soleh, seluruh ruangan menjadi buram kecuali Nissa.
SCENE 11
INT. KAFE, JALAN BRAGA -
SORE
Soleh dan Nissa duduk berhadapan. Mereka sudah beberapa kali
bertemu. Soleh tampak gugup.
<center>SOLEH</center>
> Nissa... ada
sesuatu yang harus kamu tahu tentang aku.
Jantungnya berdebar kencang. Dia menceritakan semuanya. Tentang
bipolar. Tentang episode mania dan depresi. Dia selesai bicara, lalu terdiam,
menunggu reaksi Nissa.
Nissa menatapnya dalam-dalam. Lalu dia mengulurkan tangan,
menggenggam tangan Soleh di atas meja.
<center>NISSA</center>
> Terima kasih
sudah percaya padaku, Soleh. Bagiku, itu tidak mengubah apa pun. Itu hanya
bagian dari dirimu. Kita hadapi ini bersama-sama.
Air mata kelegaan menggenang di mata Soleh. Untuk pertama
kalinya, dia merasa diterima seutuhnya.
MONTAGE - CINTA ABADI
A. Foto-foto pernikahan Soleh dan Nissa. Penuh tawa dan
kebahagiaan.
B. Soleh mengalami episode hipomania, energinya meluap. Nissa
dengan lembut memeluknya dari belakang. "Sayang, buminya di sini,"
bisiknya.
C. Soleh tenggelam dalam depresi, duduk diam di sofa. Nissa
duduk di sampingnya, tidak berkata apa-apa, hanya meletakkan kepalanya di bahu
Soleh. Kehadirannya menjadi sauh.
D. RUMAH SAKIT, 14
FEBRUARI 2005: Soleh menggendong BAYI laki-lakinya yang baru lahir. Nissa
tersenyum bahagia dari ranjang rumah sakit. Keluarga kecil mereka lengkap.
<center>SOLEH
(V.O.)</center>
> Nissa adalah
pelabuhan terindahku. Dia adalah penyeimbangku. Bersamanya, aku merasakan
kedamaian yang selama ini hanya bisa kuimpikan. Aku tidak tahu, pelabuhan ini
akan diuji oleh gelombang paling dahsyat.
SCENE 12
INT. RUANG KONSULTASI
DOKTER - SIANG
Soleh dan Nissa (kini 40-an) duduk berhadapan dengan seorang
DOKTER ONKOLOGI. Ruangan terasa dingin dan steril.
<center>DOKTER
ONKOLOGI</center>
> Hasil
biopsinya sudah keluar. Ini Karsinoma. Kanker payudara stadium lanjut. Kita
harus segera memulai kemoterapi.
Dunia Soleh dan Nissa runtuh. CLOSE UP pada tangan mereka yang
saling menggenggam erat, seolah menjadi satu-satunya hal nyata di dunia.
SCENE 13
MONTAGE - PERJUANGAN
MELAWAN KANKER
A. Soleh dengan sabar menyuapi Nissa yang lemah di tempat tidur.
B. Soleh menemani Nissa selama sesi kemoterapi. Dia memegang
kantong muntah, mengelap keringat di dahi Nissa, membisikkan kata-kata
semangat.
C. Malam hari, Soleh terjaga, meneliti tentang kanker di
laptopnya sementara Nissa terlelap.
D. Soleh menemukan Nissa menangis di depan cermin, menatap
kepalanya yang botak. Soleh memeluknya dari belakang.
<center>SOLEH</center>
> (Berbisik di
telinga Nissa)
> Bagiku, kamu
tidak pernah lebih cantik dari saat ini. Karena sekarang aku bisa melihat
dengan jelas betapa kuatnya dirimu.
E. Soleh merasakan kabut depresi mulai datang padanya. Dia
menatap cermin dengan tatapan kosong. Terdengar suara lemah Nissa memanggilnya.
Soleh menarik napas dalam, "memakai" senyumnya, dan berjalan ke kamar
Nissa.
<center>SOLEH
(V.O.)</center>
> Perjuanganku
untuk tetap sehat bukan lagi hanya untuk diriku sendiri. Ini untuknya. Aku
harus stabil agar bisa menjadi sandarannya. Aku harus kuat agar bisa
mengangkatnya saat ia jatuh.
SCENE 14
INT. KAMAR RUMAH SAKIT
HERMINA - 24 JANUARI 2021 - MALAM
Nissa terbaring lemah di ranjang. Sangat kurus. Monitor EKG
berbunyi PELAN dan RITMIS.
Soleh duduk di sisinya, memegang tangannya. PUTRA mereka (16)
berdiri di sisi lain, menggenggam tangan ibunya.
<center>SOLEH</center>
> (Suara parau)
> Ingat waktu
kita pertama kali ketemu di nikahan teman? Kamu pakai baju biru...
Soleh terus bercerita, suaranya bergetar.
Nissa menatap Soleh, lalu putranya. Sebuah senyum lemah terukir
di bibirnya. Matanya perlahan terpejam.
Bunyi monitor EKG berubah menjadi GARIS LURUS dengan SUARA
PANJANG yang memekakkan telinga.
Soleh menunduk, mencium kening Nissa. Air matanya jatuh. Dia
memeluk jasad istrinya. Hancur.
SCENE 15
INT. RUANG KELUARGA -
MALAM (BEBERAPA BULAN KEMUDIAN)
Rumah terasa kosong. Soleh dan PUTRA-nya mencoba memasak
rendang, resep andalan Nissa. Dagingnya gosong, dapur berasap.
Mereka saling pandang, lalu tertawa getir di tengah air mata.
Momen kecil yang menyatukan mereka dalam duka.
SCENE 16
EXT. KAMPUS UNIVERSITAS
WIDYATAMA - SEKARANG - SIANG
Soleh (50-an), berjalan di antara mahasiswa yang jauh lebih
muda. Dia membawa tas ransel, kembali menjadi mahasiswa program Magister. Dia
tampak bersemangat, menemukan tujuan baru.
<center>SOLEH
(V.O.)</center>
> Aku harus
terus berlayar. Bukan hanya untuk diriku, tapi untuk melanjutkan warisan
cintanya.
BACK TO PRESENT:
SCENE 17
INT. RUANG KELAS XI-8 -
PAGI
Kita kembali ke wajah Soleh. Seluruh kilas balik tadi hanya
berlangsung beberapa detik di dalam benaknya.
Dia menatap Rina. Senyumnya kini penuh dengan kehangatan,
kebijaksanaan, dan bekas luka yang telah sembuh.
<center>SOLEH</center>
> Itu pertanyaan
yang sangat bagus, Rina. Dan jawabannya... rumit. Terkadang, tubuh butuh
bantuan dari luar untuk menemukan kembali keseimbangannya.
Dia berhenti sejenak, menatap seluruh kelas.
<center>SOLEH</center>
> Dan itu...
adalah sebuah perjalanan tersendiri.
Soleh tersenyum, siap untuk berbagi ilmunya, yang tidak hanya
berasal dari buku teks, tetapi dari universitas kehidupan.
FINAL SHOT:
Soleh menatap ke luar jendela. Di pantulan kaca, samar-samar
kita bisa melihat bayangan Nissa tersenyum di sampingnya, sebelum perlahan
memudar. Soleh balas tersenyum. Damai.
FADE OUT.
No comments:
Post a Comment