The Best of Bandung: Kisah
Soleh dan Nissa
Oleh: Suyono
Bab 1: Bayangan di Balik Dago
Angin Bandung di pagi hari selalu membawa aroma yang khas:
perpaduan sejuknya embun, harumnya tanah basah, dan samar-samar wangi kopi yang
menguar dari kafe-kafe yang mulai membuka pintunya di sepanjang Dago. Namun
bagi Soleh, pagi itu hanya membawa keheningan yang pekat, serupa dengan dojo
kecil peninggalan ayahnya yang kini menjadi dunianya.
Dojo "Kushin Ryu Karatedo Indonesia (KKI)" itu
terletak di sebuah gang sempit, tersembunyi di balik deretan rumah lama
berarsitektur kolonial. Cat dindingnya sudah mengelupas di sana-sini, dan papan
nama kayu di depannya tampak usang, seolah ikut menua bersama kenangan yang
Soleh simpan. Di dalam, lantai kayu yang mengkilap oleh gesekan kaki-kaki
selama puluhan tahun, cermin besar yang memantulkan bayangan buram, dan sebuah
foto usang ayahnya yang tersenyum bangga dengan sabuk hitam di pinggang, adalah
satu-satunya saksi bisu dari kejayaan masa lalu.
Soleh, dengan tinggi semampai dan sorot mata yang seringkali
tampak kosong, menyapu lantai dojo dengan gerakan lambat, seolah setiap sapuan
adalah upaya membersihkan debu-debu kenangan yang menempel di hatinya. Usianya
baru dua puluh tiga, namun beban hidup telah mengukir garis-garis lelah di
wajahnya. Ia adalah mantan juara karate junior yang dulu digadang-gadang akan
menjadi bintang. Namun, sebuah insiden tragis, yang tak pernah ia ceritakan
pada siapa pun, telah menghentikan langkahnya di puncak karier. Sejak itu, ia
hanya mengajar anak-anak kecil, mengajarkan dasar-dasar kihon dan kata tanpa
pernah lagi menyentuh arena kompetisi.
"Soleh, sudah siap untuk latihan pagi ini?" Suara Kang
Ujang, pelatih kepala dojo yang juga sahabat karib ayahnya, memecah keheningan.
Kang Ujang adalah sosok paruh baya dengan rambut memutih di pelipis dan tubuh
yang masih tegap, memancarkan aura kebijaksanaan dan kekuatan yang tak lekang
oleh waktu. Ia mengenakan gi putih
bersih, kontras dengan gi Soleh yang
sedikit lusuh.
Soleh hanya mengangguk, tanpa menoleh. Ia tahu apa yang akan
Kang Ujang katakan selanjutnya. Setiap pagi, sudah menjadi ritual, Kang Ujang
akan mencoba membujuknya untuk kembali bertanding.
"Federasi Karate Jawa Barat akan membentuk tim nasional
untuk turnamen Kumite Internasional melawan Korea Selatan," kata Kang
Ujang, suaranya lebih lembut dari biasanya. "Nama kamu ada di daftar,
Soleh. Mereka butuh kamu."
Soleh berhenti menyapu. Debu-debu beterbangan di udara, menari
dalam sorotan cahaya matahari yang menembus jendela. "Kang, saya sudah
tidak tertarik dengan kompetisi."
"Ini bukan hanya tentang kamu, Soleh," Kang Ujang
mendekat, menepuk pundak Soleh. "Ini tentang kehormatan. Tim kita pernah
dipermalukan oleh Korea. Kita butuh yang terbaik."
Soleh hanya diam, bayangan masa lalu kembali menghantuinya.
Suara kerumunan, teriakan, dan sirene ambulans... semua berputar di benaknya.
Ia menggelengkan kepala, menolak.
"Ayahmu pasti bangga melihatmu kembali ke arena,"
bisik Kang Ujang, suaranya penuh harap. Kata-kata itu menusuk Soleh. Ayahnya.
Sosok yang selalu mendukungnya, yang impiannya adalah melihat Soleh menjadi
juara dunia. Namun, impian itu hancur bersamaan dengan kecelakaan tragis yang
merenggut nyawa ayahnya, tepat setelah Soleh melewatkan pertandingan penting.
Rasa bersalah itu tak pernah hilang.
"Saya akan memikirkannya," kata Soleh akhirnya, sebuah
janji kosong yang sering ia ucapkan.
Kang Ujang tersenyum tipis. Ia tahu Soleh tidak akan menolak
selamanya. Ada bara yang masih menyala di dalam diri pemuda itu, bara seorang
ksatria yang hanya menunggu waktu untuk kembali berkobar.
Sementara itu, di sebuah sasana karate modern di kawasan
Ciumbuleuit, Nissa sedang melampiaskan seluruh energinya pada samsak. Setiap
tendangan mawashi-geri dan pukulan gyaku-zuki yang ia lepaskan memancarkan
kekuatan dan amarah yang terpendam. Nissa adalah atlet karate putri yang
ambisius, dengan mata tajam dan rambut hitam panjang yang selalu diikat kuncir
kuda. Ia adalah kebanggaan keluarga besarnya yang kaya raya, yang melihat
karate sebagai jalan untuk mengangkat nama dan status sosial, bukan sebagai gairah
sejati Nissa. Tekanan itu membuatnya kaku, seringkali sulit bekerja sama, dan
memiliki temperamen yang meledak-ledak.
"Nissa, cukup!" teriak Bi Euis, asisten pelatih yang
sabar dan bijaksana, yang selalu menjadi penengah dalam setiap konflik di
sasana. "Kamu memaksakan diri."
Nissa menghentikan pukulannya, napasnya terengah-engah.
"Saya harus lebih baik, Bi. Turnamen itu..."
"Turnamen itu butuh tim, Nissa, bukan individu yang
egois," Bi Euis memotongnya dengan lembut namun tegas. "Kamu terpilih
masuk tim nasional. Tapi kamu harus belajar bekerja sama."
Nissa mendengus. "Siapa lagi yang terpilih? Semoga bukan
orang-orang malas yang hanya akan menghambat."
"Ada Soleh," kata Bi Euis, menyebut nama yang langsung
membuat Nissa mengerutkan kening. "Mantan juara junior. Dia punya potensi
besar."
"Soleh? Yang sudah bertahun-tahun tidak bertanding
itu?" Nissa tertawa sinis. "Saya tidak butuh orang seperti itu di tim
saya."
Bi Euis hanya tersenyum. Ia tahu Nissa memiliki hati yang baik
di balik sikap keras kepalanya. Tantangan sebenarnya bagi Nissa bukanlah lawan
di arena, melainkan dirinya sendiri.
Bab 2: Pertemuan di Sasana
Beberapa hari kemudian, Soleh akhirnya tiba di sasana utama
Federasi Karate Jawa Barat di Ciumbuleuit. Sasana itu jauh lebih besar dan
modern dari dojo kecilnya. Dindingnya dihiasi poster-poster legenda karate, dan
aroma keringat serta semangat kompetisi terasa begitu kental di udara. Ia
melihat Kang Ujang berdiri di tengah, dikelilingi oleh beberapa atlet lain yang
sudah dikenalnya: Jajang, si humoris yang selalu mencairkan suasana; Tuti,
atlet putri lain yang kalem dan selalu tersenyum; dan Budi, sosok senior yang
disiplin dan menjadi panutan bagi juniornya.
"Soleh, akhirnya kamu datang!" Kang Ujang menyambutnya
dengan senyum lebar.
Soleh hanya mengangguk, matanya menyapu sekeliling, hingga
pandangannya terpaku pada seorang gadis yang sedang melakukan stretching di sudut, memancarkan aura
kekuatan dan kepercayaan diri yang hampir arogan. Nissa.
"Jadi ini Soleh yang Kang Ujang banggakan?" Suara
Nissa terdengar sinis, memecah keheningan. Ia berdiri, menatap Soleh dari atas
ke bawah. "Saya kira Kang Ujang akan membawa juara, bukan mantan juara
yang sudah pensiun."
Soleh tidak bereaksi, hanya menatap Nissa dengan tatapan datar.
Kata-kata Nissa menusuk, tapi ia sudah terbiasa dengan cibiran dan pandangan
meremehkan.
"Cukup, Nissa," tegur Kang Ujang. "Kita di sini
untuk berlatih sebagai tim. Soleh, Nissa, kalian akan menjadi inti tim ini.
Kalian harus belajar bekerja sama."
Latihan dimulai. Kang Ujang memimpin sesi pemanasan yang intens,
diikuti dengan kihon dasar yang
menguji presisi dan kekuatan. Soleh bergerak dengan efisiensi yang luar biasa,
setiap gerakannya adalah hasil dari ribuan jam latihan yang terukir di ototnya.
Namun, ada semacam kehati-hatian dalam setiap gerakannya, seolah ia takut
melukai sesuatu, atau melukai dirinya sendiri.
Nissa, di sisi lain, adalah badai. Setiap pukulannya cepat,
setiap tendangannya eksplosif. Ia memiliki kecepatan dan kelincahan yang luar
biasa, namun terkadang ia terlalu mengandalkan kekuatan dan melupakan presisi.
Ketika tiba saatnya sparring,
Kang Ujang sengaja memasangkan Soleh dan Nissa.
"Kalian berdua, maju!" perintah Kang Ujang.
Soleh dan Nissa saling berhadapan. Nissa langsung menyerang,
melancarkan rentetan pukulan dan tendangan cepat. Soleh bertahan, memblokir
setiap serangan dengan gerakan minimal, seperti batu karang yang tak
tergoyahkan. Ia menunggu, mencari celah.
"Kenapa diam saja? Lawan saya!" teriak Nissa,
frustrasi karena serangannya tidak mempan.
Soleh akhirnya bergerak. Sebuah gyaku-zuki cepat mengarah ke perut Nissa, diikuti dengan mawashi-geri ke arah kepala yang ia
tarik di detik terakhir. Nissa terkejut. Ia tidak menyangka Soleh bisa secepat
itu.
"Soleh, jangan terlalu pasif!" tegur Kang Ujang.
"Nissa, jangan terlalu terburu-buru!"
Latihan itu berlanjut dengan ketegangan yang nyata. Mereka
berdua memiliki bakat luar biasa, namun ego dan perbedaan gaya membuat mereka
seperti dua kutub magnet yang saling menolak. Kang Ujang hanya mengamati,
sesekali memberikan instruksi, tahu bahwa gesekan ini adalah bagian dari proses
pembentukan.
Di luar latihan, suasana tidak jauh berbeda. Saat makan siang di
sebuah warung nasi di dekat sasana, Jajang mencoba mencairkan suasana dengan
leluconnya, Tuti mencoba mengajak Nissa berbicara tentang hal-hal ringan,
tetapi Nissa selalu menjaga jarak. Soleh, di sisi lain, lebih sering
menyendiri, sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Kalian berdua harus bisa akur," kata Budi suatu sore,
saat melihat Soleh dan Nissa kembali berdebat tentang strategi sparring. "Kita ini tim. Kalau
pecah, bagaimana bisa mengalahkan Korea?"
Nissa mendengus. "Saya tidak yakin bisa bekerja sama dengan
seseorang yang tidak punya semangat juang."
Soleh akhirnya angkat bicara, suaranya pelan tapi tegas.
"Semangat juang bukan berarti harus berteriak dan menyerang membabi buta.
Ada saatnya kita harus tenang dan berpikir."
Nissa melotot, tapi tidak membalas. Ia tahu Soleh ada benarnya,
meskipun ia enggan mengakuinya.
Kang Ujang, yang mendengar perdebatan itu, hanya tersenyum
tipis. Ia tahu ini adalah awal yang sulit, tetapi ia juga melihat potensi besar
dalam diri keduanya. Ia memiliki rencana untuk menyatukan mereka.
Bab 3: Luka Lama dan Tekanan Baru
Malam itu, setelah latihan yang melelahkan, Soleh kembali ke
dojo ayahnya. Ia menyalakan lampu redup, duduk bersila di tengah ruangan, dan
menatap foto ayahnya. Wajah ayahnya tampak begitu bahagia di foto itu, memegang
piala kejuaraan nasional.
"Maaf, Yah," bisik Soleh, suaranya bergetar.
"Maafkan aku."
Kecelakaan itu terjadi lima tahun lalu. Soleh seharusnya
bertanding di final kejuaraan junior, pertandingan paling penting dalam
kariernya saat itu. Ayahnya, yang selalu menjadi pelatih sekaligus pendukung
terbesarnya, berjanji akan datang. Namun, Soleh, yang saat itu masih remaja
labil, terlibat dalam sebuah pertengkaran konyol dengan teman-temannya dan
memutuskan untuk bolos pertandingan. Ia pikir ayahnya tidak akan tahu.
Tapi ayahnya tahu. Ayahnya, yang sedang dalam perjalanan menuju
arena, mendapat telepon dari panitia tentang ketidakhadiran Soleh. Dalam
keterkejutannya, ayahnya kehilangan kendali atas mobilnya. Kecelakaan tunggal.
Ayahnya meninggal di tempat.
Sejak saat itu, karate, yang dulu adalah gairahnya, berubah
menjadi pengingat pahit akan kesalahannya. Ia merasa tidak layak lagi
mengenakan gi, tidak layak lagi
bertanding. Ia mengubur impiannya, dan mengubur dirinya sendiri dalam
kesendirian.
Di sisi lain kota, Nissa duduk di meja makan mewah di rumah
megah keluarganya. Ayahnya, seorang pengusaha sukses, terus-menerus berbicara
tentang turnamen yang akan datang.
"Nissa, kamu harus menang," kata Ayahnya, matanya
penuh ekspektasi. "Ini kesempatan kita untuk menunjukkan kepada semua
orang bahwa keluarga kita adalah yang terbaik. Kita sudah menginvestasikan
banyak untuk karier kamu."
Nissa hanya mengangguk, menelan makanannya dengan susah payah.
Ia mencintai karate, tetapi tekanan dari keluarganya membuatnya merasa seperti
boneka yang menari di atas panggung. Ia tidak diizinkan kalah, tidak diizinkan
gagal. Kegagalan berarti mempermalukan nama keluarga. Ini yang membuatnya
begitu ambisius, begitu keras kepala, dan begitu takut pada kelemahan.
"Saya dengar ada Soleh di timmu," kata ibunya, dengan
nada meremehkan. "Mantan juara yang berhenti bertanding? Jangan sampai dia
menghambatmu, Nissa."
Nissa hanya diam. Ia tahu Soleh memiliki masalahnya sendiri,
sama seperti dirinya. Namun, ia tidak tahu bagaimana cara mendekatinya,
bagaimana cara menembus tembok yang dibangun Soleh di sekeliling dirinya.
Bab 4: Membangun Jembatan
Kang Ujang menyadari bahwa timnya tidak akan pernah menjadi kuat
jika Soleh dan Nissa terus-menerus bersitegang. Suatu sore, ia mengumpulkan
seluruh tim setelah latihan.
"Besok, kita akan melakukan outing," kata Kang Ujang. "Kita akan mendaki ke Tahura
Ir. H. Djuanda. Latihan fisik di alam terbuka."
Anggota tim bersorak gembira. Mereka tahu ini adalah kesempatan
untuk bersantai sekaligus mempererat ikatan. Soleh dan Nissa saling melirik,
ekspresi mereka sulit dibaca.
Pagi harinya, udara pegunungan terasa sejuk dan segar. Tim
berjalan menyusuri jalur setapak yang menanjak, melewati pepohonan pinus yang
menjulang tinggi dan suara gemericik air terjun. Jajang terus melontarkan
lelucon, membuat semua orang tertawa. Tuti dan Budi memimpin di depan,
menunjukkan stamina mereka.
Soleh dan Nissa, tanpa disengaja, seringkali berjalan
berdekatan. Dalam keheningan alam, tembok di antara mereka perlahan mulai
runtuh. Mereka berdua sama-sama menikmati keindahan alam, dan sesekali, mata
mereka bertemu, sebuah senyum tipis terukir di bibir Soleh, dan Nissa
membalasnya dengan senyum yang lebih tulus dari biasanya.
Saat beristirahat di sebuah gazebo dengan pemandangan kota
Bandung yang terhampar luas di bawah, Kang Ujang mulai bercerita. "Dulu,
ayah Soleh selalu bilang, karate itu seperti pohon. Akarnya harus kuat,
batangnya kokoh, dan rantingnya lentur. Tapi yang paling penting, pohon itu
tidak bisa tumbuh sendiri. Ia butuh tanah, air, dan cahaya. Sama seperti kita.
Kita butuh satu sama lain."
Ia menatap Soleh dan Nissa bergantian. "Kalian berdua punya
akar yang kuat, bakat yang luar biasa. Tapi kalian harus belajar menjadi hutan,
bukan hanya pohon tunggal. Saling menopang, saling melindungi."
Setelah outing itu,
suasana di sasana mulai berubah. Soleh dan Nissa masih memiliki perbedaan,
tetapi mereka mulai saling menghormati. Kang Ujang juga merancang latihan yang
lebih fokus pada kerja sama. Misalnya, mereka harus melakukan kumite berpasangan, di mana satu orang
menyerang dan yang lain harus melindungi, lalu bergantian. Ini memaksa mereka
untuk mengantisipasi gerakan satu sama lain, membaca pikiran lawan, dan
bergerak sebagai satu kesatuan.
Suatu sore, saat latihan sparring
intens, Nissa kehilangan fokus dan terjatuh, pergelangan kakinya terkilir.
Soleh, tanpa ragu, langsung menghampirinya. Ia berlutut, memeriksa kaki Nissa
dengan hati-hati.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Soleh, suaranya penuh
kekhawatiran.
Nissa menatap mata Soleh, melihat ketulusan di sana. Ini adalah
pertama kalinya ia melihat Soleh menunjukkan emosi yang begitu jelas.
"Tidak apa-apa," bisiknya, merasakan kehangatan dari sentuhan tangan
Soleh.
Momen itu menjadi titik balik. Setelah Nissa pulih, mereka
berdua mulai berlatih bersama secara sukarela. Soleh membantu Nissa mengasah
presisi serangannya, sementara Nissa mendorong Soleh untuk lebih berani dan
eksplosif. Mereka saling melengkapi, seperti yin dan yang.
"Kalian sudah seperti saudara," kata Bi Euis suatu
hari, tersenyum melihat mereka berdua berlatih dengan harmonis.
Soleh dan Nissa saling pandang, sebuah senyum tipis terukir di
bibir mereka. Mereka tidak lagi melihat satu sama lain sebagai rival, melainkan
sebagai rekan satu tim, bahkan lebih dari itu, sebagai keluarga.
Kabar tentang tim Korea Selatan mulai beredar. Kwon Tae-ho,
kapten tim Korea, adalah seorang atlet arogan dengan rekor tak terkalahkan. Ia
sering melontarkan psy-war melalui media sosial, meremehkan kemampuan tim
Indonesia.
"Mereka pikir kita lemah," geram Jajang, melihat video
Kwon Tae-ho yang sedang menyombongkan diri.
"Kita akan buktikan siapa yang lemah," kata Nissa,
matanya menyala. Semangat kompetitifnya kini bercampur dengan rasa solidaritas
tim.
Soleh hanya diam, tapi tatapannya semakin tajam. Ia tahu, ini
bukan hanya tentang memenangkan pertandingan. Ini tentang membuktikan bahwa
mereka, tim dari Bandung, dari Indonesia, memiliki semangat yang tak bisa
diremehkan.
Kang Ujang mengumpulkan tim. "Kita akan ke Braga besok
malam," katanya. "Kita akan melihat sejarah, dan merasakan semangat
Bandung. Kalian harus tahu apa yang kalian perjuangkan."
Malam itu, mereka berjalan di sepanjang Jalan Braga, merasakan
atmosfer kota tua yang hidup. Kang Ujang menunjuk bangunan-bangunan tua,
menceritakan sejarah Bandung, dan bagaimana kota ini selalu melahirkan
orang-orang yang gigih dan pantang menyerah.
"Filosofi Sunda mengajarkan kita silih asih, silih asah, silih asuh," kata Kang Ujang.
"Saling menyayangi, saling mengasah, saling mengasuh. Itu bukan hanya
untuk keluarga, tapi untuk tim. Untuk bangsa."
Soleh dan Nissa mendengarkan dengan saksama. Mereka merasakan
ikatan yang semakin kuat, bukan hanya di antara mereka berdua, tetapi di antara
seluruh anggota tim. Mereka adalah satu kesatuan, satu keluarga, yang siap
menghadapi tantangan apa pun.
Bab 5: Menuju Arena Jakarta
Hari yang dinanti tiba. Tim Karate Jawa Barat, dengan seragam gi putih bersih dan jaket tim berwarna
merah-putih, berkumpul di Stasiun Bandung. Suasana haru dan tegang meliputi
keberangkatan mereka. Keluarga dan kerabat datang untuk memberikan dukungan,
melambaikan tangan dan meneriakkan semangat.
"Semangat, Nissa! Bawa pulang piala!" teriak ibu
Nissa, melambaikan tangan dengan antusias. Nissa membalas lambaian itu,
senyumnya kini lebih tulus, tidak lagi terbebani.
Soleh melihat Kang Ujang, yang menepuk pundaknya. "Sudah
siap, jagoan?"
Soleh mengangguk, sebuah senyum tipis terukir di bibirnya. Untuk
pertama kalinya dalam lima tahun, ia merasa siap. Siap untuk bertarung, bukan
hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk tim, untuk ayahnya, dan untuk
kehormatan.
Perjalanan kereta api menuju Jakarta terasa panjang. Di dalam
gerbong, Jajang mencoba mengurangi ketegangan dengan bernyanyi lagu-lagu
daerah, sementara Tuti dan Budi memeriksa peralatan mereka. Soleh dan Nissa
duduk bersebelahan, sesekali bertukar pandang, sebuah pengertian tanpa kata
terjalin di antara mereka.
Setibanya di Jakarta, atmosfer turnamen sudah terasa.
Spanduk-spanduk besar menghiasi gedung olahraga, sorotan lampu kamera, dan
kerumunan penonton yang memadati area. Tim Korea Selatan sudah tiba lebih dulu,
terlihat dari postur tubuh mereka yang tegap dan tatapan mata yang dingin. Kwon
Tae-ho, dengan rambut klimis dan senyum angkuh, tampak menonjol di antara
mereka.
Upacara pembukaan berlangsung meriah, dengan parade atlet dari
berbagai negara. Ketika nama Indonesia disebut, sorakan penonton menggema,
memberikan semangat yang membakar. Soleh dan Nissa berjalan beriringan, kepala
tegak, merasakan beban sekaligus kebanggaan yang luar biasa.
Pertandingan-pertandingan awal berlangsung dengan intensitas
tinggi. Setiap anggota tim Indonesia menunjukkan peningkatan yang luar biasa.
Jajang, yang awalnya sering bercanda, bertarung dengan fokus dan kecepatan yang
mengejutkan, memenangkan pertandingan pertamanya dengan ippon. Tuti menunjukkan kelincahan dan teknik yang indah,
mengalahkan lawannya dengan poin telak. Budi, sebagai senior, tampil tenang dan
penuh perhitungan, memberikan poin penting bagi tim.
Namun, tantangan sesungguhnya datang ketika mereka berhadapan
dengan tim-tim kuat lainnya, terutama tim Korea Selatan.
Bab 6: Pertarungan Jiwa
Pertandingan semifinal melawan tim Jepang berlangsung sengit.
Skor sangat tipis, dan Soleh menjadi penentu di pertandingan terakhir. Lawannya
adalah seorang atlet Jepang yang gesit dan memiliki kecepatan luar biasa,
mengingatkan Soleh pada pertandingan terakhir ayahnya. Bayangan masa lalu
kembali menghantuinya, membuatnya sesaat ragu.
"Soleh! Ingat latihan kita!" teriak Nissa dari bangku
cadangan, suaranya memecah konsentrasi Soleh. "Kamu tidak sendiri!"
Soleh menatap Nissa, lalu ke arah Kang Ujang yang mengangguk
penuh keyakinan. Ia melihat wajah-wajah rekan satu timnya, mata mereka penuh
harapan dan dukungan. Ia tidak sendiri. Ia tidak akan mengulangi kesalahan yang
sama.
Mengambil napas dalam-dalam, Soleh mengubah strateginya. Ia
tidak lagi pasif. Ia mulai menyerang, memadukan presisi dengan kecepatan yang
ia latih bersama Nissa. Sebuah kizami-zuki
cepat diikuti dengan gyaku-zuki yang
kuat, membuat lawannya terhuyung. Soleh tidak memberi celah, terus menekan,
hingga akhirnya, sebuah tendangan mawashi-geri
yang sempurna mendarat telak, menghasilkan ippon.
Sorakan penonton meledak. Soleh telah memenangkan pertandingan,
membawa tim Indonesia ke final! Ia menoleh ke arah Nissa, yang tersenyum lebar,
matanya berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya, Soleh merasa beban di pundaknya
terangkat. Ia telah membuktikan kepada dirinya sendiri, dan kepada bayangan
ayahnya, bahwa ia bisa bangkit.
Giliran Nissa. Ia berhadapan dengan atlet Korea yang dikenal
licik dan sering menggunakan trik-trik kotor. Nissa, dengan temperamennya yang
mudah tersulut, nyaris terpancing emosi. Lawannya terus memprovokasi, mencoba
membuatnya kehilangan fokus.
"Nissa, tenang!" teriak Kang Ujang. "Kontrol
emosimu!"
Nissa menarik napas dalam-dalam, teringat nasihat Kang Ujang
tentang pentingnya ketenangan dalam badai. Ia juga teringat bagaimana Soleh
selalu tenang dalam menghadapi tekanan. Ia memejamkan mata sejenak,
membayangkan wajah Soleh yang tenang, dan kata-kata silih asih, silih asah, silih asuh.
Ketika ia membuka mata, tatapannya berubah. Ia tidak lagi marah,
melainkan fokus. Ia mulai membaca gerakan lawannya, mengantisipasi setiap
provokasi. Ketika lawannya mencoba melakukan serangan ilegal, Nissa dengan
cepat menghindar dan membalas dengan ura-mawashi
yang mengejutkan, menghasilkan poin.
Pertandingan itu adalah ujian sesungguhnya bagi Nissa. Ia tidak
hanya bertarung melawan lawannya, tetapi juga melawan dirinya sendiri. Dengan
setiap poin yang ia raih, ia semakin menunjukkan kematangan dan kedewasaan.
Akhirnya, bel tanda berakhirnya pertandingan berbunyi. Nissa menang dengan
selisih poin tipis. Ia berhasil mengendalikan emosinya dan membuktikan bahwa ia
bisa menjadi atlet yang tangguh, bukan hanya karena kekuatan, tetapi juga
karena kebijaksanaan.
Tim Indonesia, Tim Jawa Barat, berhasil melaju ke final,
berhadapan langsung dengan tim Korea Selatan.
Bab 7: Puncak Kumite
Final adalah puncak dari segalanya. Atmosfer di dalam arena
terasa memanas, sorakan penonton memekakkan telinga. Tim Indonesia dan tim
Korea Selatan berdiri berhadapan, aura persaingan yang kental menyelimuti
mereka. Kwon Tae-ho menatap Soleh dan Nissa dengan senyum angkuh, seolah sudah
yakin akan kemenangan.
Kang Ujang mengumpulkan timnya. "Ingat, ini bukan hanya
tentang menang. Ini tentang bagaimana kita bertarung. Tentang kehormatan.
Tentang semangat ksatria yang ada di dalam diri kalian. Kalian adalah yang
terbaik. Tunjukkan pada mereka!"
Pertandingan dimulai. Setiap anggota tim Indonesia bertarung
dengan segenap jiwa dan raga. Jajang, Tuti, dan Budi memberikan perlawanan
sengit, meraih poin-poin penting. Namun, tim Korea memang sangat kuat, dan
pertandingan berjalan sangat ketat.
Tibalah giliran Soleh. Ia akan berhadapan langsung dengan Kwon
Tae-ho. Ini adalah pertandingan yang paling dinanti, pertarungan antara dua
atlet terbaik dari kedua tim.
Soleh dan Kwon Tae-ho saling membungkuk. Kwon Tae-ho langsung
menyerang dengan agresif, tendangan dan pukulan cepat yang mematikan. Soleh
bertahan dengan tenang, memblokir setiap serangan, menunggu momen yang tepat.
Ia tidak lagi terbebani oleh masa lalu, tidak lagi takut. Ia adalah Soleh, sang
Kushin Ryu Karatedo Indonesia (KKI), yang telah bangkit dari abu.
Kwon Tae-ho terkejut dengan ketenangan Soleh. Ia semakin
frustrasi, serangannya semakin membabi buta. Soleh melihat celah. Sebuah gyaku-zuki cepat ke arah perut, diikuti
dengan ude-uke yang sempurna untuk
menangkis serangan balik Kwon Tae-ho, lalu diakhiri dengan mae-geri yang kuat. Poin untuk Soleh!
Kwon Tae-ho marah, ia menyerang dengan lebih brutal. Soleh terus
bertahan, bergerak dengan lincah, seperti air yang mengalir. Ia membiarkan Kwon
Tae-ho menghabiskan energinya, lalu membalas dengan serangan balik yang presisi
dan mematikan.
Pertandingan itu adalah tontonan yang luar biasa, adu teknik,
kekuatan, dan mental. Soleh menunjukkan kematangan yang luar biasa, tidak
terpancing emosi, tetap fokus pada setiap gerakan. Akhirnya, bel berbunyi.
Soleh memenangkan pertandingan melawan Kwon Tae-ho dengan selisih poin tipis.
Arena bergemuruh, sorakan "Indonesia! Indonesia!" menggema.
Kini giliran Nissa. Ia adalah petarung terakhir, penentu
kemenangan tim. Lawannya adalah atlet putri Korea yang sangat kuat dan memiliki
stamina luar biasa.
Nissa bertarung dengan semangat membara. Ia memadukan kecepatan
dan kekuatan, menyerang tanpa henti. Lawannya juga tidak menyerah, membalas
setiap serangan dengan gigih. Poin demi poin diraih, saling kejar-kejaran.
Di menit-menit terakhir, skor imbang. Nissa tahu ia harus
melakukan sesuatu yang luar biasa. Ia melihat Soleh di bangku cadangan, matanya
penuh dukungan. Ia teringat semua latihan yang mereka jalani bersama, semua
nasihat Kang Ujang.
Nissa mengambil risiko. Ia melakukan kombinasi serangan yang
rumit, sebuah jodan-zuki palsu untuk
membuka pertahanan lawan, diikuti dengan hiza-geri
yang cepat. Lawannya terkejut, tidak sempat bereaksi. Nissa mendaratkan pukulan
terakhir yang bersih, menghasilkan poin kemenangan.
Bel berbunyi panjang. Pertandingan berakhir.
Seluruh tim Indonesia, Kang Ujang, dan Bi Euis, langsung berlari
ke tengah arena, memeluk Soleh dan Nissa. Mereka telah melakukannya! Mereka
telah memenangkan turnamen Kumite Internasional!
Air mata kebahagiaan mengalir di pipi Nissa. Ia memeluk Soleh
erat-erat. "Kita berhasil, Soleh! Kita berhasil!"
Soleh tersenyum, senyum tulus yang belum pernah ia tunjukkan
selama bertahun-tahun. "Kita berhasil, Nissa. Kita berhasil."
Kang Ujang menatap mereka berdua dengan bangga. Ia tahu,
kemenangan ini bukan hanya tentang piala atau medali. Ini tentang perjalanan
mereka, tentang bagaimana mereka mengatasi ketakutan, ego, dan masa lalu
mereka. Mereka telah menemukan arti sejati dari karate: bukan hanya tentang
menang, tetapi tentang bagaimana kita bertarung dan siapa kita saat bertarung.
Epilog: Kushin Ryu Karatedo Indonesia (KKI) yang
Baru
Tim kembali ke Bandung sebagai pahlawan. Sambutan di Stasiun
Bandung begitu meriah, melebihi ekspektasi mereka. Warga Bandung
berbondong-bondong datang, mengibarkan bendera merah-putih, meneriakkan
nama-nama mereka. Sebuah spanduk besar bertuliskan "Selamat Datang
Pahlawan Bandung!" terbentang di depan stasiun.
Soleh dan Nissa berdiri di depan, menyapa kerumunan dengan
senyum. Mereka tidak lagi canggung, tidak lagi menjaga jarak. Mereka adalah dua
ksatria yang telah menemukan tempat mereka, tidak hanya di arena, tetapi juga
di hati satu sama lain.
Beberapa bulan kemudian, dojo "Kushin Ryu Karatedo
Indonesia (KKI)" milik ayah Soleh kembali ramai. Soleh kini mengajar
dengan semangat baru, matanya berbinar. Ia tidak lagi hanya mengajarkan teknik,
tetapi juga filosofi di balik setiap gerakan, pentingnya disiplin, rasa hormat,
dan persatuan.
Nissa, yang kini lebih rendah hati dan sabar, sering datang
membantu Soleh mengajar. Ia tidak lagi terbebani oleh ekspektasi keluarganya.
Ia menemukan kebahagiaan sejati dalam berbagi ilmu dan melihat anak-anak kecil
tumbuh dan berkembang.
Suatu sore, setelah anak-anak pulang, Soleh dan Nissa duduk
bersantai di teras dojo, menikmati sejuknya angin sore Bandung.
"Dulu, saya tidak pernah berpikir akan kembali
bertanding," kata Soleh, menatap langit senja. "Saya pikir karate
hanya akan membawa kenangan pahit."
"Tapi kamu bangkit, Soleh," kata Nissa, menggenggam
tangan Soleh. "Kamu menunjukkan pada semua orang bahwa kamu adalah yang
terbaik. Dan kamu membantuku menemukan diriku sendiri."
Soleh menoleh, menatap mata Nissa. Ada kehangatan yang menjalar
di antara mereka. Mereka telah melalui banyak hal, dan kini, mereka siap
menghadapi masa depan bersama.
Dojo "Kushin Ryu Karatedo Indonesia (KKI)" bukan lagi hanya dojo tua. Ia telah menjadi simbol harapan, tempat di mana impian baru lahir, dan di mana semangat ksatria sejati terus hidup. Di bawah langit Bandung yang selalu ramah, Soleh dan Nissa, dua hati yang pernah terluka, kini telah menemukan arti keluarga, persahabatan, dan kemenangan sejati. Mereka adalah The Best of Bandung, sebuah kisah yang akan terus diceritakan, dari generasi ke generasi.
No comments:
Post a Comment