Saturday, July 26, 2025

Bintang di Tanah Pasundan_Cerpen

 




Bintang di Tanah Pasundan

Oleh: Suyono

 

Bab 1: Senja di Balik Asap

 

Soleh menatap pantulan dirinya di gelas bir yang berembun, cairan keemasan itu beriak pelan seiring getaran bass dari panggung kecil di sudut kafe. Wajahnya yang dulu terpampang di poster-poster konser besar, kini hanya samar terlihat, terdistorsi oleh cahaya temaram dan kabut asap rokok yang mengepul. Usia empat puluh tiga tahun terasa seperti beban berton-ton di pundaknya, setiap kerutan di wajahnya adalah peta dari jalan-jalan yang salah ia ambil, dari janji-janji yang tak tertunaikan, dan dari melodi-melodi yang kini terasa bisu.

Kafe "Senja Kala" di Jalan Braga itu ramai seperti biasa. Aroma kopi berpadu dengan bau alkohol dan keringat, menciptakan simfoni khas malam Bandung yang tak pernah tidur. Soleh sudah lama menjadi bagian dari simfoni itu, dulu sebagai konduktornya, kini hanya sebagai salah satu instrumen yang sumbang. Ia adalah Soleh, vokalis legendaris dari band "Jejak Kaki", yang lagu-lagunya pernah menjadi anthem bagi generasi muda Bandung. Namun, kejayaan itu kini tinggal kenangan, terkubur di bawah tumpukan botol kosong dan janji-janji palsu pada dirinya sendiri.

"Satu lagi, Kang?" suara pelayan muda membuyarkan lamunannya. Soleh mengangguk tanpa menoleh, matanya terpaku pada panggung. Seorang penyanyi solo, dengan gitar akustik usang, sedang membawakan lagu lawas "Jejak Kaki" dengan aransemen yang terlalu ceria. Soleh mendengus. Mereka tak mengerti. Lagu itu bukan tentang keceriaan. Lagu itu tentang luka.

Tinnitus di telinganya berdenging lagi, suara Jackson Maine yang tak pernah padam, pengingat konstan akan kehancuran yang ia ciptakan sendiri. Ia meraih botol bir, meneguknya dalam satu tarikan napas, seolah ingin memadamkan suara-suara itu, memadamkan kenangan akan panggung yang riuh, sorakan penonton, dan tepuk tangan yang memekakkan telinga. Dulu, ia hidup untuk itu. Kini, ia hanya hidup untuk melarikan diri dari itu.

Abah Budi, kakak tirinya yang sekaligus mantan manajernya, sering menelepon. Suaranya selalu dipenuhi kekhawatiran, kadang juga kekecewaan. "Soleh, sampai kapan atuh begini terus, Neng? Ingat, tanah warisan Bapak teh sudah Abah jual. Jangan sampai kamu juga ikut hancur." Soleh tahu Abah Budi benar. Penjualan tanah itu adalah luka lama yang tak pernah sembuh, pengingat akan pengkhianatan yang ia rasakan, meskipun Abah Budi bersumpah ia sudah memberitahunya, hanya saja Soleh terlalu mabuk untuk peduli.

Ia menghela napas, asap rokok mengepul dari bibirnya. Bandung, kota kreatif ini, dulu adalah kanvasnya. Kini, ia merasa seperti coretan buram di sudutnya. Kota yang dulu dijuluki "Paris van Java" dengan bangunan Art Deco yang elegan dan iklim sejuknya, kini terasa menyesakkan. Setiap sudutnya menyimpan kenangan, setiap jalanan Braga yang ramai dengan kafe dan bar musik, seolah mengejeknya dengan gemerlap yang tak lagi ia miliki.

"Kang Soleh, nuju naon atuh di dieu wae?" Suara Kang Entis, sahabat lamanya, membuyarkan lamunannya lagi. Kang Entis, pemilik kedai kopi sederhana di dekat Dago, adalah satu-satunya tempat Soleh bisa merasa sedikit tenang. Kedai Kang Entis adalah "safe haven" baginya, tempat ia bisa melarikan diri dari hiruk pikuk dan tuntutan dunia.

"Nggak ada apa-apa, Kang. Cuma ngopi," jawab Soleh, meskipun gelas di tangannya jelas berisi bir.

Kang Entis hanya tersenyum maklum. Ia tahu Soleh. Ia tahu perjuangan batin yang tak terlihat di balik mata musisi itu. "Udah lama nggak ngopi di tempat saya, Neng. Besok mampir atuh, ada kopi baru dari Garut."

Soleh mengangguk, tanpa janji. Ia tahu besok ia akan bangun dengan kepala berdenyut, dan kopi mungkin bukan hal pertama yang ia cari. Ia kembali menatap panggung. Penyanyi itu sudah selesai. Kini, seorang gadis muda naik ke atas panggung, membawa gitar akustik yang terlihat terlalu besar untuk tubuh mungilnya.

 

Bab 2: Melodi yang Tersembunyi

 

Nissa menghela napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu. Panggung kecil di "Senja Kala" terasa seperti arena gladiator. Meskipun ia sudah sering tampil di kafe-kafe kecil di sekitar Braga dan Dago, rasa gugup itu tak pernah hilang. 7 Ia adalah Nissa, dua puluh satu tahun, seorang pelayan paruh waktu di kafe ini, dan seorang penyanyi-penulis lagu yang memendam impian sebesar langit Bandung.

Gitar akustik di tangannya adalah satu-satunya harta berharga yang ia miliki, hadiah dari Mang Ujang, ayahnya. Mang Ujang, seorang musisi lokal yang bersemangat namun kurang beruntung, selalu menjadi pendukung terbesarnya. "Neng, suara kamu teh anugerah dari Gusti Allah. Jangan disia-siakan," katanya selalu, dengan logat Sunda yang kental dan senyum ramah yang menular.

Nissa memetik senar gitar, mencoba akor pembuka lagu ciptaannya sendiri. Lirik-lirik itu mengalir begitu saja dari hatinya, tentang mimpi-mimpi yang tertunda, tentang kota Bandung yang memberinya harapan sekaligus tantangan. Ia tahu, industri musik itu kejam. Banyak musisi indie di Bandung yang berjuang mati-matian dengan "keterbatasan sumber daya" dan "promosi yang sulit." 9 Tapi ia percaya, musiknya punya tempat.

Malam itu, ia memilih membawakan lagu berjudul "Bintang Jatuh." Sebuah lagu tentang harapan yang rapuh, tentang keinginan untuk bersinar, meskipun hanya sesaat. Ia memejamkan mata, membiarkan melodi membimbingnya. Suaranya, yang awalnya sedikit bergetar, perlahan menguat, mengisi ruangan dengan kejujuran yang menusuk. Ada kekuatan dalam kerentanan suaranya, sebuah kejujuran yang jarang ditemukan di tengah gemerlap musik komersial.

Ia membuka mata, dan pandangannya langsung tertumbuk pada sepasang mata yang menatapnya tajam dari meja di sudut. Mata itu milik seorang pria yang ia kenali. Soleh. Vokalis legendaris "Jejak Kaki." Soleh yang kini jarang terlihat di panggung, lebih sering di bar. Nissa pernah mendengar cerita tentangnya, tentang kecanduannya, tentang karirnya yang meredup. Ada rasa iba, namun juga kekaguman yang mendalam. Soleh adalah ikon, meskipun kini ia tampak seperti bayangan dari dirinya yang dulu.

Nissa melanjutkan lagunya, setiap kata adalah bisikan dari jiwanya. Ia tidak bernyanyi untuk Soleh, atau untuk siapa pun di ruangan itu. Ia bernyanyi untuk dirinya sendiri, untuk impiannya, untuk Mang Ujang yang selalu percaya padanya. Ia bernyanyi dengan seluruh perasaannya, tanpa filter, tanpa pretensi.

Ketika lagu itu berakhir, keheningan sejenak menyelimuti kafe, sebelum pecah menjadi tepuk tangan yang riuh. Nissa tersenyum tipis, lega. Ia menunduk, menyembunyikan rona merah di pipinya. Ia tidak tahu, di sudut sana, Soleh sedang menatapnya dengan pandangan yang tak bisa diartikan. Sebuah percikan, mungkin, di tengah kegelapan yang melingkupinya.

 

Bab 3: Percikan di Kegelapan

 

Soleh tidak bisa mengalihkan pandangannya dari gadis di panggung. Nissa. Nama itu terngiang di benaknya, selembut melodi yang baru saja ia dengar. Suaranya... suara itu seperti tamparan keras di wajahnya, membangunkan sesuatu yang sudah lama mati di dalam dirinya. Kejujuran. Kerentanan. Bakat yang murni, tanpa polesan, tanpa kompromi.

Ia sudah melihat banyak penyanyi. Banyak yang bagus, banyak yang teknis. Tapi Nissa... Nissa punya sesuatu yang lebih. Ia punya jiwa. Setiap nada yang keluar dari bibirnya, setiap kata yang ia nyanyikan, terasa seperti bisikan langsung dari hatinya. Itu adalah jenis musik yang ia rindukan, jenis musik yang dulu ia ciptakan sebelum ketenaran dan kecanduan menggerogoti segalanya.

"Lagu siapa itu, Neng?" Soleh bertanya pada pelayan yang tadi melayaninya.

"Lagu ciptaan Nissa sendiri, Kang," jawab pelayan itu, tersenyum bangga. "Dia memang jago nulis lagu."

Soleh mengangguk pelan. Ciptaan sendiri. Tentu saja. Hanya lagu yang lahir dari kedalaman jiwa yang bisa memiliki kekuatan seperti itu. Ia melihat Nissa turun dari panggung, membereskan gitarnya, dan kembali ke balik bar. Ia ingin bicara dengannya. Tapi apa yang akan ia katakan? "Hei, saya Soleh, musisi yang karirnya hancur karena mabuk, dan saya pikir kamu punya bakat?" Rasanya terlalu klise, terlalu menyedihkan.

Namun, ada dorongan yang tak bisa ia abaikan. Dorongan yang sudah lama tak ia rasakan. Dorongan untuk menciptakan sesuatu, untuk menemukan kembali esensi musik yang hilang. Ia menghabiskan sisa birnya, lalu bangkit. Langkahnya sedikit goyah, namun tekadnya bulat.

Ia mendekati bar, di mana Nissa sedang membersihkan meja. "Neng," panggil Soleh, suaranya serak.

Nissa menoleh, matanya sedikit melebar saat melihat Soleh berdiri di depannya. "Eh, Kang Soleh. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya sopan, dengan senyum ramah khas orang Sunda. 8

"Lagu tadi... lagu kamu?" tanya Soleh langsung, tanpa basa-basi.

Nissa mengangguk, sedikit malu. "Iya, Kang. Kenapa?"

"Bagus," kata Soleh, singkat namun tulus. "Bagus sekali."

Nissa tersenyum, pipinya merona. Pujian dari seorang Soleh adalah sesuatu yang tak pernah ia bayangkan. "Terima kasih, Kang."

Soleh terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat. "Saya... saya Soleh. Mungkin kamu tahu."

"Tentu saja, Kang. Siapa yang nggak kenal Kang Soleh," jawab Nissa, matanya berbinar.

"Saya mau kamu nyanyi sama saya," kata Soleh, tiba-tiba. "Besok malam. Di sini. Lagu 'Shallow'."

Nissa terkejut. "Shallow? Tapi... itu kan lagu Barat, Kang. Saya belum pernah nyanyi lagu itu."

"Nggak masalah," kata Soleh, matanya menatap lurus ke mata Nissa. "Saya akan ajari kamu. Kamu punya suara. Kamu punya jiwa. Kita bisa buat lagu itu jadi milik kita."

Nissa ragu. Ini adalah kesempatan besar, tapi juga menakutkan. Soleh, sang legenda, ingin berduet dengannya. Namun, ia juga tahu reputasi Soleh. "Tapi, Kang... saya..."

"Nggak ada tapi," potong Soleh, ada sedikit ketegasan dalam suaranya. "Ini kesempatan. Kamu mau atau tidak?"

Nissa menatap mata Soleh. Di sana, ia melihat bukan hanya bayangan seorang pecandu, tapi juga percikan api yang sama yang ia rasakan dalam dirinya sendiri. Percikan seorang seniman yang haus akan keaslian. "Mau, Kang," jawab Nissa, mantap. "Saya mau."

Soleh tersenyum. Senyum yang sudah lama tidak ia tunjukkan, senyum yang mencapai matanya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, ia merasa ada harapan. Harapan untuk dirinya sendiri, dan harapan untuk bintang baru yang baru saja ia temukan.

 

Bab 4: Harmoni yang Tak Terduga

 

Malam berikutnya, kafe "Senja Kala" terasa berbeda. Ada aura antisipasi yang menggantung di udara. Kabar tentang Soleh yang akan kembali tampil, dan berduet dengan penyanyi baru, menyebar cepat di kalangan musisi dan penikmat musik Bandung.

Nissa berdiri di belakang panggung, jantungnya berdebar kencang. Mang Ujang, ayahnya, datang menemaninya. "Jangan gugup, Neng. Kamu teh punya bakat. Tunjukkan saja apa yang ada di hati kamu," kata Mang Ujang, mengusap punggung Nissa dengan sayang.

Soleh muncul, mengenakan kemeja batik yang rapi, terlihat lebih segar dari biasanya. Ia membawa gitar akustiknya, yang terlihat jauh lebih terawat daripada gitar Nissa. "Siap, Neng?" tanyanya, suaranya tenang.

Nissa mengangguk, mencoba tersenyum.

Mereka naik ke panggung. Soleh menyapa penonton dengan anggukan kepala, sementara Nissa hanya bisa menunduk, menghindari tatapan mata yang tak terhitung jumlahnya. Soleh memetik akor pembuka "Shallow," melodi yang familiar namun kini terasa baru di telinga Nissa.

Ketika tiba gilirannya, Nissa menarik napas dalam-dalam. Ia memejamkan mata, membayangkan dirinya bernyanyi hanya untuk Mang Ujang, di warung kopi mereka. Suaranya mengalun, lembut namun penuh kekuatan, mengisi setiap sudut ruangan. Penonton terdiam, terpukau.

Soleh menatap Nissa, matanya dipenuhi kekaguman. Gadis ini... gadis ini adalah anugerah. Ia bergabung, suaranya yang serak berpadu sempurna dengan suara Nissa yang jernih. Ada harmoni yang tak terduga di antara mereka, perpaduan antara pengalaman pahit dan harapan murni. Mereka bukan hanya bernyanyi; mereka bercerita. Kisah tentang dua jiwa yang terluka, namun menemukan penyembuhan dalam melodi.

Ketika lagu itu mencapai puncaknya, Soleh dan Nissa saling bertatapan. Ada koneksi yang tak terucapkan di antara mereka, sebuah pemahaman yang melampaui kata-kata. Mereka adalah dua kutub yang berbeda, namun saling melengkapi. Bintang yang memudar, dan bintang yang baru lahir.

Tepuk tangan meledak, lebih riuh dari malam sebelumnya. Soleh tersenyum lebar, dan kali ini, senyum itu benar-benar tulus. Ia menoleh ke Nissa, yang matanya berkaca-kaca. "Kamu luar biasa, Neng," bisiknya.

Malam itu, di kafe kecil di Braga, sebuah bintang baru mulai bersinar di Tanah Pasundan. Dan Soleh, sang musisi yang hampir padam, merasa sedikit cahayanya kembali. Ini adalah awal. Awal dari sebuah kisah yang akan menguji cinta, ambisi, dan ketahanan jiwa mereka di tengah gemerlap dan kegelapan industri musik.

No comments: