Bintang di Tanah Pasundan
Oleh: Suyono
Bab 1: Senja di Balik Asap
Soleh menatap pantulan dirinya di gelas bir yang berembun,
cairan keemasan itu beriak pelan seiring getaran bass dari panggung kecil di
sudut kafe. Wajahnya yang dulu terpampang di poster-poster konser besar, kini
hanya samar terlihat, terdistorsi oleh cahaya temaram dan kabut asap rokok yang
mengepul. Usia empat puluh tiga tahun terasa seperti beban berton-ton di
pundaknya, setiap kerutan di wajahnya adalah peta dari jalan-jalan yang salah
ia ambil, dari janji-janji yang tak tertunaikan, dan dari melodi-melodi yang
kini terasa bisu.
Kafe "Senja Kala" di Jalan Braga itu ramai seperti
biasa. Aroma kopi berpadu dengan bau alkohol dan keringat, menciptakan simfoni
khas malam Bandung yang tak pernah tidur. Soleh sudah lama menjadi bagian dari
simfoni itu, dulu sebagai konduktornya, kini hanya sebagai salah satu instrumen
yang sumbang. Ia adalah Soleh, vokalis legendaris dari band "Jejak
Kaki", yang lagu-lagunya pernah menjadi anthem bagi generasi muda Bandung. Namun, kejayaan itu kini tinggal
kenangan, terkubur di bawah tumpukan botol kosong dan janji-janji palsu pada
dirinya sendiri.
"Satu lagi, Kang?" suara pelayan muda membuyarkan
lamunannya. Soleh mengangguk tanpa menoleh, matanya terpaku pada panggung.
Seorang penyanyi solo, dengan gitar akustik usang, sedang membawakan lagu lawas
"Jejak Kaki" dengan aransemen yang terlalu ceria. Soleh mendengus.
Mereka tak mengerti. Lagu itu bukan tentang keceriaan. Lagu itu tentang luka.
Tinnitus di telinganya berdenging lagi, suara Jackson Maine yang
tak pernah padam, pengingat konstan akan kehancuran yang ia ciptakan sendiri. Ia
meraih botol bir, meneguknya dalam satu tarikan napas, seolah ingin memadamkan
suara-suara itu, memadamkan kenangan akan panggung yang riuh, sorakan penonton,
dan tepuk tangan yang memekakkan telinga. Dulu, ia hidup untuk itu. Kini, ia
hanya hidup untuk melarikan diri dari itu.
Abah Budi, kakak tirinya yang sekaligus mantan manajernya,
sering menelepon. Suaranya selalu dipenuhi kekhawatiran, kadang juga
kekecewaan. "Soleh, sampai kapan atuh begini terus, Neng? Ingat, tanah
warisan Bapak teh sudah Abah jual. Jangan sampai kamu juga ikut hancur."
Soleh tahu Abah Budi benar. Penjualan tanah itu adalah luka lama yang tak
pernah sembuh, pengingat akan pengkhianatan yang ia rasakan, meskipun Abah Budi
bersumpah ia sudah memberitahunya, hanya saja Soleh terlalu mabuk untuk peduli.
Ia menghela napas, asap rokok mengepul dari bibirnya. Bandung,
kota kreatif ini, dulu adalah kanvasnya. Kini, ia merasa seperti coretan buram
di sudutnya. Kota yang dulu dijuluki "Paris van Java" dengan bangunan
Art Deco yang elegan dan iklim sejuknya, kini terasa menyesakkan. Setiap
sudutnya menyimpan kenangan, setiap jalanan Braga yang ramai dengan kafe dan
bar musik, seolah mengejeknya dengan gemerlap yang tak lagi ia miliki.
"Kang Soleh, nuju naon atuh di dieu wae?" Suara Kang
Entis, sahabat lamanya, membuyarkan lamunannya lagi. Kang Entis, pemilik kedai
kopi sederhana di dekat Dago, adalah satu-satunya tempat Soleh bisa merasa
sedikit tenang. Kedai Kang Entis adalah "safe haven" baginya, tempat
ia bisa melarikan diri dari hiruk pikuk dan tuntutan dunia.
"Nggak ada apa-apa, Kang. Cuma ngopi," jawab Soleh,
meskipun gelas di tangannya jelas berisi bir.
Kang Entis hanya tersenyum maklum. Ia tahu Soleh. Ia tahu
perjuangan batin yang tak terlihat di balik mata musisi itu. "Udah lama
nggak ngopi di tempat saya, Neng. Besok mampir atuh, ada kopi baru dari
Garut."
Soleh mengangguk, tanpa janji. Ia tahu besok ia akan bangun
dengan kepala berdenyut, dan kopi mungkin bukan hal pertama yang ia cari. Ia
kembali menatap panggung. Penyanyi itu sudah selesai. Kini, seorang gadis muda
naik ke atas panggung, membawa gitar akustik yang terlihat terlalu besar untuk
tubuh mungilnya.
Bab 2: Melodi yang Tersembunyi
Nissa menghela napas panjang, mencoba menenangkan detak
jantungnya yang berpacu. Panggung kecil di "Senja Kala" terasa
seperti arena gladiator. Meskipun ia sudah sering tampil di kafe-kafe kecil di
sekitar Braga dan Dago, rasa gugup itu tak pernah hilang. 7 Ia adalah Nissa, dua
puluh satu tahun, seorang pelayan paruh waktu di kafe ini, dan seorang
penyanyi-penulis lagu yang memendam impian sebesar langit Bandung.
Gitar akustik di tangannya adalah satu-satunya harta berharga
yang ia miliki, hadiah dari Mang Ujang, ayahnya. Mang Ujang, seorang musisi
lokal yang bersemangat namun kurang beruntung, selalu menjadi pendukung
terbesarnya. "Neng, suara kamu teh anugerah dari Gusti Allah. Jangan
disia-siakan," katanya selalu, dengan logat Sunda yang kental dan senyum
ramah yang menular.
Nissa memetik senar gitar, mencoba akor pembuka lagu ciptaannya
sendiri. Lirik-lirik itu mengalir begitu saja dari hatinya, tentang mimpi-mimpi
yang tertunda, tentang kota Bandung yang memberinya harapan sekaligus
tantangan. Ia tahu, industri musik itu kejam. Banyak musisi indie di Bandung
yang berjuang mati-matian dengan "keterbatasan sumber daya" dan
"promosi yang sulit." 9 Tapi ia percaya, musiknya punya tempat.
Malam itu, ia memilih membawakan lagu berjudul "Bintang
Jatuh." Sebuah lagu tentang harapan yang rapuh, tentang keinginan untuk
bersinar, meskipun hanya sesaat. Ia memejamkan mata, membiarkan melodi
membimbingnya. Suaranya, yang awalnya sedikit bergetar, perlahan menguat,
mengisi ruangan dengan kejujuran yang menusuk. Ada kekuatan dalam kerentanan
suaranya, sebuah kejujuran yang jarang ditemukan di tengah gemerlap musik
komersial.
Ia membuka mata, dan pandangannya langsung tertumbuk pada
sepasang mata yang menatapnya tajam dari meja di sudut. Mata itu milik seorang
pria yang ia kenali. Soleh. Vokalis legendaris "Jejak Kaki." Soleh
yang kini jarang terlihat di panggung, lebih sering di bar. Nissa pernah
mendengar cerita tentangnya, tentang kecanduannya, tentang karirnya yang
meredup. Ada rasa iba, namun juga kekaguman yang mendalam. Soleh adalah ikon,
meskipun kini ia tampak seperti bayangan dari dirinya yang dulu.
Nissa melanjutkan lagunya, setiap kata adalah bisikan dari
jiwanya. Ia tidak bernyanyi untuk Soleh, atau untuk siapa pun di ruangan itu.
Ia bernyanyi untuk dirinya sendiri, untuk impiannya, untuk Mang Ujang yang
selalu percaya padanya. Ia bernyanyi dengan seluruh perasaannya, tanpa filter,
tanpa pretensi.
Ketika lagu itu berakhir, keheningan sejenak menyelimuti kafe,
sebelum pecah menjadi tepuk tangan yang riuh. Nissa tersenyum tipis, lega. Ia
menunduk, menyembunyikan rona merah di pipinya. Ia tidak tahu, di sudut sana,
Soleh sedang menatapnya dengan pandangan yang tak bisa diartikan. Sebuah
percikan, mungkin, di tengah kegelapan yang melingkupinya.
Bab 3: Percikan di Kegelapan
Soleh tidak bisa mengalihkan pandangannya dari gadis di
panggung. Nissa. Nama itu terngiang di benaknya, selembut melodi yang baru saja
ia dengar. Suaranya... suara itu seperti tamparan keras di wajahnya,
membangunkan sesuatu yang sudah lama mati di dalam dirinya. Kejujuran.
Kerentanan. Bakat yang murni, tanpa polesan, tanpa kompromi.
Ia sudah melihat banyak penyanyi. Banyak yang bagus, banyak yang
teknis. Tapi Nissa... Nissa punya sesuatu yang lebih. Ia punya jiwa. Setiap
nada yang keluar dari bibirnya, setiap kata yang ia nyanyikan, terasa seperti
bisikan langsung dari hatinya. Itu adalah jenis musik yang ia rindukan, jenis
musik yang dulu ia ciptakan sebelum ketenaran dan kecanduan menggerogoti
segalanya.
"Lagu siapa itu, Neng?" Soleh bertanya pada pelayan
yang tadi melayaninya.
"Lagu ciptaan Nissa sendiri, Kang," jawab pelayan itu,
tersenyum bangga. "Dia memang jago nulis lagu."
Soleh mengangguk pelan. Ciptaan sendiri. Tentu saja. Hanya lagu
yang lahir dari kedalaman jiwa yang bisa memiliki kekuatan seperti itu. Ia
melihat Nissa turun dari panggung, membereskan gitarnya, dan kembali ke balik
bar. Ia ingin bicara dengannya. Tapi apa yang akan ia katakan? "Hei, saya
Soleh, musisi yang karirnya hancur karena mabuk, dan saya pikir kamu punya
bakat?" Rasanya terlalu klise, terlalu menyedihkan.
Namun, ada dorongan yang tak bisa ia abaikan. Dorongan yang
sudah lama tak ia rasakan. Dorongan untuk menciptakan sesuatu, untuk menemukan
kembali esensi musik yang hilang. Ia menghabiskan sisa birnya, lalu bangkit.
Langkahnya sedikit goyah, namun tekadnya bulat.
Ia mendekati bar, di mana Nissa sedang membersihkan meja.
"Neng," panggil Soleh, suaranya serak.
Nissa menoleh, matanya sedikit melebar saat melihat Soleh
berdiri di depannya. "Eh, Kang Soleh. Ada yang bisa saya bantu?"
tanyanya sopan, dengan senyum ramah khas orang Sunda. 8
"Lagu tadi... lagu kamu?" tanya Soleh langsung, tanpa
basa-basi.
Nissa mengangguk, sedikit malu. "Iya, Kang. Kenapa?"
"Bagus," kata Soleh, singkat namun tulus. "Bagus
sekali."
Nissa tersenyum, pipinya merona. Pujian dari seorang Soleh
adalah sesuatu yang tak pernah ia bayangkan. "Terima kasih, Kang."
Soleh terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat.
"Saya... saya Soleh. Mungkin kamu tahu."
"Tentu saja, Kang. Siapa yang nggak kenal Kang Soleh,"
jawab Nissa, matanya berbinar.
"Saya mau kamu nyanyi sama saya," kata Soleh,
tiba-tiba. "Besok malam. Di sini. Lagu 'Shallow'."
Nissa terkejut. "Shallow? Tapi... itu kan lagu Barat, Kang.
Saya belum pernah nyanyi lagu itu."
"Nggak masalah," kata Soleh, matanya menatap lurus ke
mata Nissa. "Saya akan ajari kamu. Kamu punya suara. Kamu punya jiwa. Kita
bisa buat lagu itu jadi milik kita."
Nissa ragu. Ini adalah kesempatan besar, tapi juga menakutkan.
Soleh, sang legenda, ingin berduet dengannya. Namun, ia juga tahu reputasi
Soleh. "Tapi, Kang... saya..."
"Nggak ada tapi," potong Soleh, ada sedikit ketegasan
dalam suaranya. "Ini kesempatan. Kamu mau atau tidak?"
Nissa menatap mata Soleh. Di sana, ia melihat bukan hanya
bayangan seorang pecandu, tapi juga percikan api yang sama yang ia rasakan
dalam dirinya sendiri. Percikan seorang seniman yang haus akan keaslian.
"Mau, Kang," jawab Nissa, mantap. "Saya mau."
Soleh tersenyum. Senyum yang sudah lama tidak ia tunjukkan,
senyum yang mencapai matanya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat
lama, ia merasa ada harapan. Harapan untuk dirinya sendiri, dan harapan untuk
bintang baru yang baru saja ia temukan.
Bab 4: Harmoni yang Tak Terduga
Malam berikutnya, kafe "Senja Kala" terasa berbeda.
Ada aura antisipasi yang menggantung di udara. Kabar tentang Soleh yang akan
kembali tampil, dan berduet dengan penyanyi baru, menyebar cepat di kalangan
musisi dan penikmat musik Bandung.
Nissa berdiri di belakang panggung, jantungnya berdebar kencang.
Mang Ujang, ayahnya, datang menemaninya. "Jangan gugup, Neng. Kamu teh
punya bakat. Tunjukkan saja apa yang ada di hati kamu," kata Mang Ujang,
mengusap punggung Nissa dengan sayang.
Soleh muncul, mengenakan kemeja batik yang rapi, terlihat lebih
segar dari biasanya. Ia membawa gitar akustiknya, yang terlihat jauh lebih
terawat daripada gitar Nissa. "Siap, Neng?" tanyanya, suaranya
tenang.
Nissa mengangguk, mencoba tersenyum.
Mereka naik ke panggung. Soleh menyapa penonton dengan anggukan
kepala, sementara Nissa hanya bisa menunduk, menghindari tatapan mata yang tak
terhitung jumlahnya. Soleh memetik akor pembuka "Shallow," melodi
yang familiar namun kini terasa baru di telinga Nissa.
Ketika tiba gilirannya, Nissa menarik napas dalam-dalam. Ia
memejamkan mata, membayangkan dirinya bernyanyi hanya untuk Mang Ujang, di
warung kopi mereka. Suaranya mengalun, lembut namun penuh kekuatan, mengisi
setiap sudut ruangan. Penonton terdiam, terpukau.
Soleh menatap Nissa, matanya dipenuhi kekaguman. Gadis ini...
gadis ini adalah anugerah. Ia bergabung, suaranya yang serak berpadu sempurna
dengan suara Nissa yang jernih. Ada harmoni yang tak terduga di antara mereka,
perpaduan antara pengalaman pahit dan harapan murni. Mereka bukan hanya
bernyanyi; mereka bercerita. Kisah tentang dua jiwa yang terluka, namun
menemukan penyembuhan dalam melodi.
Ketika lagu itu mencapai puncaknya, Soleh dan Nissa saling
bertatapan. Ada koneksi yang tak terucapkan di antara mereka, sebuah pemahaman
yang melampaui kata-kata. Mereka adalah dua kutub yang berbeda, namun saling
melengkapi. Bintang yang memudar, dan bintang yang baru lahir.
Tepuk tangan meledak, lebih riuh dari malam sebelumnya. Soleh
tersenyum lebar, dan kali ini, senyum itu benar-benar tulus. Ia menoleh ke
Nissa, yang matanya berkaca-kaca. "Kamu luar biasa, Neng," bisiknya.
Malam itu, di kafe kecil di Braga, sebuah bintang baru mulai
bersinar di Tanah Pasundan. Dan Soleh, sang musisi yang hampir padam, merasa
sedikit cahayanya kembali. Ini adalah awal. Awal dari sebuah kisah yang akan
menguji cinta, ambisi, dan ketahanan jiwa mereka di tengah gemerlap dan
kegelapan industri musik.
No comments:
Post a Comment